Sejarah Istilah Pengertian Ulama


Judul : Sejarah Istilah Pengertian Ulama
link : Sejarah Istilah Pengertian Ulama


Sejarah Istilah Pengertian Ulama

Sebenarnya sederhana saja kita mendefinisikan ulama. Sebagai bentuk jamak dari ‘alim; orang berilmu, maka ulama itu ialah orang-orang yang berilmu. Tapi seiring perkembangan zaman yang cenderung merusak tatanan nilai keilmuan, maka permasalahan pun muncul. Layakkah jika orang bakir tersebut cacat dari segi moral? Lalu dikarenakan ilmu kini terdikotomi dari ilmu umum dan agama, apakah seseorang yang bakir dalam bidang kimia sanggup dikategorikan ulama? Padahal banyak di antara mereka yang tidak faham al-Qur’an dan Hadits? Atau sebaliknya, orang yang faham Al-Qur’an dan Hadits, tapi tidak menguasai ilmu alam atau sosial, dapatkah juga dikategorikan ulama?

Sebagai tumpuan utama dalam memilih pengertian suatu istilah, Al-Qur’an menyebut kata ulama dalam dua tempat, yaitu pertama QS. As-Syu’ara ayat 197 berikut ini :
أَوَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ آيَةً أَنْ يَعْلَمَهُ عُلَمَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ
“Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?” (QS. As-Syu’ara: 197).
Ayat ini berkaitan dengan pemberitaan kenabian Muhammad SAW dan turunnya Al-Qur’an dalam kitab-kitab terdahulu (Zubur al-awwalin). Dan hal tersebut diketahui secara niscaya oleh para ulama Bani Israil. Maka hal tersebut ialah bukti yang positif perihal kenabian Muhammad SAW dan keabsahan Al-Qur’an tersebut. Tapi kenapa lalu masih ditentang dan ditolak, padahal sudah sama-sama diketahui? (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 6 : 163).
Itu artinya bahwa ulama yang dikehendaki dalam ayat ini ialah orang-orang yang bakir dalam hal kitab-kitab Allah.

Ayat yang kedua kata Ulama ada pada QS. Fathir ayat 28:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”. (QS. Fathir: 28).
Potongan ayat ini merupakan sambungan dari ayat-ayat yang menceritakan perihal kekuasaan Allah dalam penciptaan langit, gunung, tanah, hewan, tumbuhan, dan manusia. Awal ayatnya berbunyi, alam tara?; tidakkah kau memperhatikan? Berdasarkan metodologi munasabah (korelasi ayat-ayat), ayat-ayat ini menunjukkan bahwa ulama itu ialah orang yang bakir dalam hal kealaman atau sains. Tapi tidak cukup itu saja, ayat ini mempersyaratkan khasyah; takut kepada Allah. Dan ayat selanjutnya berisi sanjungan bagi orang-orang yang membaca ayat-ayat Allah, mendirikan shalat dan menunaikan infak. Sebagai isyarat, menyerupai itulah orang-orang yang khasyah kepada Allah SWT.

Ini artinya bahwa ulama ialah orang-orang yang mempunyai pengetahuan perihal ilmu agama dan ilmu kealaman (sains), dan pengetahuan yang dimilikinya itu mengantarkan kepada khasyah.

Meninjau sejarah penggunaan istilah ulama pada masa al-khulafa ar-Rasyidin, tidak ada pemisahan antara orang yang mempunyai pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan kealaman. Keduanya dikategorikan ulama. Itu dikarenakan para sobat Nabi SAW umumnya mempunyai pengetahuan keagamaan, pengetahuan kealaman, sekaligus mereka juga pelaku-pelaku politik praktis. Para sobat terkemuka ketika itu biasanya duduk dalam suatu dewan pertimbangan yang lalu dipopulerkan dengan istilah ahlul-halli wal-aqdi. Para sobat itulah yang pada zaman selanjutnya disebut dengan istilah ulama salaf.

Baru pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan sesudahnya, istilah ulama lebih ditekankan kepada orang yang pakar dalam pengetahuan keagamaan saja. Bahkan alasannya ialah ada pembidangan ilmu agama, istilah ulama lebih dipersempit lagi. Misalnya hebat fiqih disebut fuqoha, hebat hadits disebut muhaditsien, hebat kalam / tauhid disebut mutakallimien, dan hebat tafsir disebut mufassir.

Sementara itu orang yang pakar dalam pengetahuan perihal kealaman tidak lagi disebut sebagai ulama, tetapi disebut hebat bidang masing-masing. Tokoh-tokoh menyerupai al-Khawarizmi, al-Biruni, dan Ibnu Hayyan tidak lagi disebut dengan istilah ulama, tetapi disebut sebagai hebat kauniah (kealaman). Demikian juga dengan al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan al-Ghazali. Kecuali bila mereka pakar juga dalam pengetahuan keagamaan, mereka sanggup disebut ulama. Misalnya Ibnu Rusyd, yang selain filosof juga dikenal sebagai ulama fiqih yang salah satu karyanya bidayah al Mujtahid, atau al-Ghazali selain menguasai kalam dan filsafat juga sanggup dikatakan sebagai ulama fiqih dan tasawuf.

Di Indonesia, istilah ulama yang seharusnya bermakna jamak dipakai dalam makna tunggal. Dan yang ditujunya ialah para hebat ilmu agama, khususnya fiqih. Lebih dari itu, ulama ialah mereka yang menempuh jenjang keilmuan non-perguruan tinggi. Walau tentunya ada juga mereka yang menempuh pendidikan perguruan tinggi tinggi yang disebut ulama. Hanya umumnya, bagi mereka yang menyerupai ini disebut dengan istilah cendekiawan muslim. Demikian halnya dengan mereka yang pakar dalam ilmu kealaman atau sosial, disebutnya ilmuwan atau cendekiawan, bukan ulama. Dan mengikuti perkembangan mutakhir keilmuan, maka masing-masing mendapat sebutan sesuai dengan keahlian. Pakar astronomi disebut astronom, pakar kesehatan disebut dokter, pakar sosial disebut sosiolog, dan lain sebagainya.

Perkembangan istilah ulama menyerupai itu tidak mutlak salah sepenuhnya. Karena penggunaan suatu istilah akan sangat terpengaruh oleh budaya dan lingkungan setempat. Hanya beberapa karakteristik yang dijelaskan al-Qur’an di atas, itulah yang jadi pegangan pastinya. Yakni bahwa ulama itu ialah orang yang (1) Berilmu, (2) Khasyah (takut kepada Allah), dan (3) Mengamalkan kesalihan.