Imam Al-Ghazali, Ulama Besar Sufi


Judul : Imam Al-Ghazali, Ulama Besar Sufi
link : Imam Al-Ghazali, Ulama Besar Sufi


Imam Al-Ghazali, Ulama Besar Sufi

Kalau ada ulama besar sufi yang paling dikenal di Timur dan di Barat, dan ulama terkemuka yang kontroversial, yang dipuja-puja dan dimaki serta dicerca dalam satu tarikan nafas, maka tokoh itu tidak lain yaitu Imam Al-Ghazali Rahimahullah.
Mereka menyangjungnya setinggi langit mengatakan, "tanpa kehadirannya, ilmu-ilmu agama, susila dan tasawuf pada abad-abad ini telah usang pudar cahayanya". Dan karya besarnya yang terkenal, ihya ulumuddin yaitu kitab yang terbaik sesudah Al-Qur'an dan Hadits. Dan sebaliknya, mereka yang amat tajam mengkritiknya mengatakan, "Dosa Besar" kemunduran ummat Islam dalam bidang duniawi dan ilmu filsafat yaitu atas tanggung-jawab beliau, alasannya yaitu menganjurkan hidup secara sufi dan zuhud serta 'uslah dan dia telah membunuh filsafat dengan bukunya Tahafatul Falasifah (Rubuhnya para filosof); suatu risalah yang ditulis untuk menyangkal dan memusnahkan doktrin-doktrin para filosof Muslim. Buku ini menerima perlawanan sengit dari filosof Ibnu Rusydi dengan bukunya Tahafutut Tahafut.
Di samping itu, karya agung ia ihya ulumuddin, dipandang orang, alasannya yaitu dengan itu ia hidup sepanjang zaman, tak terlupakan namun beroleh kecaman dari Ibnu Taimiyah sebagai kitab yang menampilkan hadits-hadits lemah tak bermutu (which contains a large number of apocryphal hadits), ibarat dipetik oleh Prof. Gibb dalam bukunya The Shorter Encyclopaedia of Islam.
Namun Al-Ghazali tetap Al-Ghazali, dengan kepribadiannya yang agung, jasa-jasanya yang besar, kehidupannya yang saleh dan dengan ketakwaannya yang tinggi. Ia yaitu tokoh Islam abadi dan bintangnya selalu terang sepenjang zaman.
Al-Ghazali dilahirkan di Thus, di tempat Khurasan (Persia), 1059 M dan wafat 1111 M di kota dia dilahirkan. Ada versi lain yang menyampaikan ia hidup antara 1072 dan 1127 Masehi.
Walaupun hidupnya tidak sanggup dikatakan panjang alasannya yaitu kurang dari 60 tahun, tapi nilai dan mutunya begitu tinggi dan berharga sekali dengan pedoman dan buah penanya yang bermutu, dan sanggup dinikmati oleh generasi yang tiba kemudian hingga tamat zaman.

Imam Al-Ghazali Kaprikornus Guru Besar
Perdana menteri Nizamul Mulk tertarik kepada kealiman Al-Ghazali dan kemudian mengangkatnya jadi Guru Besar pada Universitas Nzamiyah di Baghdad. Di masanya itu, Baghdad menjadi termasyhur sebagai kota ilmu pengetahuan yang didatangi para mahasiswa dari segenap penjuru negeri.
Al-Ghazali yang di mata raja merupakan gunung ilmu yang tinggi itu, oleh Raja Saljuk Malik Syah diberi tempat tinggal di apartemen Istana Kerajaan yang mewah, dan diberi honor yang banyak sebagai Mufti Kerajaan Saljuk. Raja memberinya jubah kenegaraan hingga imbas Al-Ghazali segera melebihi para amir dan menteri. Sahabat Al-Ghazali, Al-Allamah Abdul A'afir al-Farisi melukiskan kehidupan Al-Ghazali di Baghdad antara lain ibarat berikut ini:
"... Ia kaya, dipuja oleh penduduk dan dikitari oleh lebih dari tiga ratus murid yang tiba dari segenap potongan dunia muslim untuk mengikuti kuliah-kuliahnya wacana tasawuf dan ilmu tauhid. Ketenarannya telah menyembul potongan cahaya tak terkontrol dari matahari tropis di kala fajar animo panas. Dunia terpesona olehnya."
Ketenaran dan kemasyhuran namanya namanya di dunia telah terdengar jauh ke mana-mana hingga kepadaan yang menakjubkan, suatu hal yang spekakuler terjadi di mana al-Ghazali kemudian membelokkan seluruh contoh kehidupannya kepada keadaannya yang baru.
Konon ia membaca buku Nahjul Balaghah yang berisi koleksi khutbah Khalifah Ali bin Abi Thalib RA., yang antara lain berbunyi: Saya peringatkan kau sekalian bahwa segala sesuatu ibarat kekayaan, kekuasaan, dan kesenangan-kesenangan yang mengelilingi para penipu yang lihai dan penjahat-penjahat jangan hingga menarik hati dan memikat kamu. Karena kehidupan ini bagaikan bayangan di atas bumi yang akan memanjang untuk beberapa waktu, tetapi pada akhirnya, lenyap. Campakkan kesia-siaan mu dan ingatlah, bahwa orang yang merendahkan dirinya akan ditinggikan, dan orang yang meninggikan dirinya akan dicampakkan. Dan sesudah merenungkan kalimat-kalimat mutiara Ali bin Abi Thalib itu, di saat-saat semarak dan keharumannya demikian semerbak penuh pujian, ia meninggalkan kedudukannya yang tinggi.
Al-Ghazali mengundurkan diri, pergi haji ke Mekkah dan kemudian di 'Uzlah di menara Mesjid Jamik Damaskus yang populer dan perpengaruh itu hingga selesai 4 jilid besar, yaitu ihya' ulumuddin (menghidupkan ilmu-ilmu agama).

Imam Al-Ghazali Resah dengan Ulama
Selama di Baghdad, walaupun hidup dengan segala kecukupan bahan dan tinggal di lingkungan apartemen istana, namun jiwa al-Ghazali gelisah dan resah. Ia memperhatikan tingkah polah para pejabat negara yang karam dalam kemewahan hidup, sedang rakyatnya banyak yang miskin dan melarat. Ia bingung melihat para Ulama yang telah menjual kepribadian dan agamanya dengan menjongkok-jongkok tiba ke istana Raja, untuk kepentingan eksklusif dengan mengharapkan kedudukan, pangkat dan bahan duniawi.
Al-Ghazali merekam realitas di atas, maka ia refleksikan dalam kata-kata yang mengecam, ibarat ini:
"Para Ulama - Yang menyebut diri mereka pemimpin-pemimpin keagamaan - menipu dan menindas masyarakat yang bodoh. Mereka menyibukkan diri dengan tujuan-tujuan eksklusif yang membutakan mata dan hati mereka dari rahasia-rahasia kehidupan. Mereka tidak memahami hukum-hukum Allah, tidak pula mengerti maksud sejati agama ini. Mungkin Anda lihat beberapa di antara mereka yang berumur lebih dari 40 atau 50 tahun- dengan kepala dan hati yang patut dimuliakan- berlutut di Mesjid dengan air muka yang mengungkapkan ketakwaan yang paling tepat dan penuh kedamaian, sementara hati mereka membengkak dengan kesengsaraan."
"Celakalah mereka yang menggerakkan bibirnya dalam shalat dengan kata-kata takwa, sementara dalam praktek yang sesungguhnya, mereka memanfaatkan kepekaan rasa keagamaan para muridnya. Makna agama sejati itu telah tergeser, hanya namanya saja yang tinggal. Zatnya telah sirna dan hanya bayangan nya saja yang menggantikan tempatnya. Kebenaran agama telah dipalsukan, dan kepalsuan telah disebut sebagai kebenaran, sehingga balasannya tak terhindarkan: kaum munafik telah menjadi ulama."
Kemudian dalam kitabnya Ihya ulumuddin itu, ia mengutip hadits Nabi: Sebaik-baik pejabat ialah mereka yang tiba kepada ulama, dan sejelek-jelek Ulama ialah mereka yang tiba menghadap kepada para pejabat (umara'). Dan, ia menyitir hadits lain Nabi SAW: Para Ulama itu yaitu pemegang amanah para Rasul atas hamba-hama Allah, selama mereka tidak bergaul dengan Sultan (penguasa). Apabila mereka berbuat demikian maka telah berarti mereka mengkhianati para Rasul. Maka dari itu waspadalah terhadap mereka dan jauhkan dirimu daripada mereka itu! (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, II hlm. 140-141).

Kehilangan Al-Ghazali 
Masyarakat Baghdad terkejut atas kehilangan Al-Ghazali dari kalangan mereka. Bukan saja rakyat banyak, tetapi juga pihak penguasa mencicipi kepergian Al-Ghazali, sebagai kehilangan besar. Setelah Sultan mendengar Al-Ghazali telah pulang dari pengembaraannya dan kembali ke kampung kelahirannya, Thus, maka ia pun mengirim surat kepada Al-Ghazali semoga dia sudi kembali ke Baghdad memegang jabatannya semula sebagai Mufti dan Guru Besar.
Tetapi seruan dan perintah Sultan itu tidak sanggup diterimanya, alasannya yaitu ia ingin menjaukan diri dari kekuasaan dan godaan duniawi yang sering menggelisahkan hatinya. Ia ingin hidup tenteram dan bebas di kampungnya dengan membina para kader ulama sejati, dengan mendirikan perguruan tinggi tinggi Islam yang mandiri, bebas dari imbas Pemerintahan. Ia hidup di tengah-tengah masyarakat ummat yang dicintainya kepada siapa dia membaktikan sisa-sisa umurnya yang paling berharga. Apalagi ia telah berjanji kepada Tuhan, bahwa ia tidak lagi akan mendatangi istana atau mendapatkan upah dari pemerintah, suatu akad yang telah dibuatnya atas kesadaran eksklusif dikala ia berada di Ka'bah menunaikan ibadah Haji di tanah suci.
Inilah isi suratnya kepada Sultan Sanjar Saljuqi:
"Perlu anda ketahui bahwa saya ini berumur 53 tahun. Empat puluh tahun daripadanya telah terhabiskan di banyak sekali tempat... Selama 20 tahun, saya hidup di dalam pemerintahan ayahanda raja yang telah berusaha melaksanakan apa saja yang bisa dibuatnya untuk mengakibatkan Isfahan dan Baghdad kota yang paling maju di dunia... Saya yaitu pengarang 70 buku. Selama beberapa tahun, saya tinggal dan berdakwah di Makkah dan Yerusalem. Ketika saya mengunjungi makam Nabi Ibrahim AS dan membacakan al-Fatihah, dengan sepenuh hati saya berjanji:
  1. Saya tidak akan lagi mendatangi istana seorang raja, tidak pula akan mendapatkan sesuatu yang bersifat upah dari pemerintah-pemerintah dalam bentuk apapun, alasannya yaitu hal ibarat itu akan mengurangi nilai jasa yang saya sumbangkan kepada masyarakat. 
  2. Saya tak akan melibatkan diri dalam segala sesuatu yang bisa memancing pertikaian-pertikaian keagamaan. 
"Selama 12 tahun terakhir ini, dengan sepenuh hati saya telah setia terhadap akad saya di makam Nabi Ibrahim AS itu. Sekarang saya mendapatkan suatu pesan dari Yang Mulia, meminta saya untuk mendatangi istana Anda... Saya hanya bisa memohon kepada Yang Mulia untuk mempertimbangkan hak saya demi untuk memenuhi suatu akad keagamaan, dan semoga saya tidak menderita hanya alasannya yaitu saya telah berusaha berlaku jujur".
"JIka boleh saya berikan bimbingan, saya pikir Anda seharusnya berusaha menahan diri untuk tidak memaksa saya mendatangi istana Anda, dan Anda pun tentunya tak menghendaki saya melakukannya dengan memperkosa akad saya...". (Abdul Qayyum, Surat-surat Al-Ghazali, Mizan, Bandung, 1983).

Surat Al-Ghazali di atas, terang menyampaikan perilaku dan kepribadian Ulama waratsatul Anbiya' (Pewaris para Nabi) yang sejati, yang melambangkan kesalehan dan keberanian serta kesederhanaan. Itulah nikmatnya hidup sebagai Ulama yang takwa. Beliau menentukan kebebasan daripada kekayaan dan kesenangan.

Al-Ghazali Dialog Dengan Seorang Menteri 
Walaupun Al-Ghazali tegas dan gamblang sikapnya terhadap Sultan, namun penguasa tetap merayunya semoga mau menjadi tangan-tangan pemerintah. Begitulah, ia berdialog dengan penguasa berkali-kali, melalui surat yang dikirimnya kepada seorang Menteri.
Setelah memperingatkan sang Menteri akan kesalahan hidup orang yang diperbudak oleh kesenangan-kesenangan hidup, yakni mereka yang menjadi penyembah bahan dan kekuasaan, maka Al-Ghazali berkata, "Dunia ini yaitu laksana sebuah penjara, dan orang-orang yang berada di dunia ini yaitu narapidananya". Sungguh aneh, demikian Al-Ghazali berfilsafat, bahwa narapidana bisa bersukaria dalam kesedihan! Al-Ghazali mengecam keras orang-orang yang salah dalam menentukan tujuan hidupnya, yaitu penyembah-penyembah materi, kesenangan, kedudukan dan kekuasaan; alasannya yaitu semuanya itu yaitu suatu yang akan sirna, tidak abadi. 
Kemudian ia melanjutkan dialognya dengan sang Menteri:
"Sekarang saya ingin berpindah kepada urusan Universitas Nizamiyah. Saya sangat menyesal atas ketidak mampuan saya untuk mengabulkan perintah-perintah Yang Mulia, semoga saya mau mendapatkan kedudukan sebagai Guru Besar di Universitas tersebut. Anda tidak tahu betapa kebahagiaan saya telah bertambah, tak terbatas, dengan kembalinya saya ke Thus. Saya tidak memiliki keinginan lain, kecuali ketenangan yang saya nikmati di sana. Jika saya meninggalkan Thus dan kembali ke Baghdad, pastilah maksud saya melaksanakan perjalanan itu yaitu salah satu dari dua: untuk memperoleh kekayaan dan kemuliaan duniawi, atau menambah prestasi-prestasi keagamaan saya. Alhamdulillah saya telah menolak kemegahan dan keagungan keduniaan. Dunia ini tidak punya sesuatu yang bisa diberikannya kepada saya, sedangkan hati saya, demikian pula harapan-harapan saya, berada di dunia yang akan datang.
"Kesemarakan kehidupan duniawi di sekitar saya selama periode-periode tersebut (ketika saya menjadi Guru Besar dan Mufti Besar) di Universitas Nizamiyah, telah menampikan kepahitan bencana yang tak akan bisa saya lupakan hingga mati. Bahkan bila dingklik pemerintahan yang amat besar dipindahkan ke Thus, saya tak akan mungkin mengabdikan diri bagi urusan-urusan masyarakat".
"Jika saya kabulkan permintaan anda, Anda akan lihat, imbas saya (apapun bentuknya) atas sejumlah masyarakat, sangat berkurang; alasannya yaitu semua orang akan berkata bahwa saya telah menjual diri saya untuk kepentingan Sulthan". Demikian Al-Ghazali kepada Menteri Nizamuddin Fakhrul Mulk.

Alangkah konsekuen dan konsistennya bapak Tasawuf yang besar ini, dan alangkah indahnya hidupnya dalam membela dan mempertahankan pendirian keagamaannya yang kukuh laksana batu-karang di samudera luas! Dan begitulah perilaku Ulama besar al-Ghazali hingga tamat hayatnya yang sangat berkesan itu.

Daftar Pustaka
  • Al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin, Sulaiman Mar'i, Singapura.
  • Muhammad Syafiq Garbal, Al-Mausu'ah. Cairo, 1965.
  • Abdul Qayyum, Surat-surat Al-Ghazali, Mizan, Bandung, 1983. 
  • Prof. Gibb/ Prof. Kramers, the Shorter Encyclopedia of Islam. 
  • Al-Ghazali, Al-Jawahirul Ghawali, Cairo, 1343 H.
  • Dr. Zaki Mubarak, Al-Akhlak 'Indal Ghazali, Cairo, 1986.