Judul : Satoyama Melestarikan Alam Cara Jepang
link : Satoyama Melestarikan Alam Cara Jepang
Satoyama Melestarikan Alam Cara Jepang
Banyak cara yang ramah untuk membangun ekonomi di negeri Indonesia tercinta ini. Tanpa harus merusak alam dan saling berebut dengan cara yang tidak halal. Tak ada salahnya kita menjiplak orang Jepang yang kini telah berhasil membuatkan konsep pembangunan ramah lingkungan yang disebut Satoyama.Majalah Niponica edisi final tahun kemudian menurunkan laporan ihwal Jepang yang membangun ekonomi tanpa merusak alam. Satoyama didefinisikan sebagai simbolisasi dari gaya hidup Jepang dan perhatiannya ihwal hidup dalam harmoni dengan alam.
Kehidupan perkotaan berdampingan dengan kehidupan liar alami tanpa saling mengganggu. Dapat kita lihat kini kehidupan anak sekolah yang berjalan melenggang santai di atas pematang sawah dan didekatnya ada burung bangau yang tidak merasa terganggu satu sama lainnya.
Pemandangan menyerupai itu sudah jarang ditemukan di Indonesia. Namun di Jepang, kehidupan serasi antara insan dengan alam dan lingkungannya terus terpelihara. Disebutkan oleh Niponica, hampir 70% wilayah Jepang merupakan hutan lebat yang tetap hijau.
Di Indonesia, hutan ditebangi, hewan-hewan termasuk burung ditembaki. Sawah-sawah produktif dijadikan area pabrik. Sungai-sungai menjadi kawasan pembuangan sampah. Akibatnya, banjir di mana-mana di ketika demam isu hujan, dan kekeringan pun meluas di ketika demam isu kemaru. Alam sudah tidak seimbang lagi antara flora dan manusia.
Lain hal nya dengan negara Sakura ini. Para orang bau tanah tetap mengajari bawah umur mereka untuk menghargai alam. Dengan demikian, penduduk Jepang selalu berfikir ihwal insan dan alam yang tidak terpisahkan. Tetapi insan dan alam yakni menyatu.
Banyak orang bau tanah Jepang yang menentukan tetap hidup di Wakayama. Mereka hidup bersahabat dengan hutan, memanfaatkan kayu dari hutan untuk materi bakar, tetapi tidak mengganggu atau merusaknya. Kesadaran menyerupai itu mereka dapatkan dari tradisi yang mereka terima secara turun temurun.
Bahkan untuk memotong kayu yang akan dijadikan kayu bakar, penduduk hanya memotong dahan-dahan kering. Tidak memotong batang dari akarnya. Pencari kayu bakar harus memastikan bahwa dahan yang dipotong benar-benar kering atau diperkirakan akan kembali tumbuh.
Tak heran kalau selama berabad-abad, hutan tetap menyerupai semula. Jika ada penambangan, maka hutan akan dinantikan hingga dia kembali menjadi hijau ranau. Berkat hidup serasi dengan alam, warga sanggup menikmati anugerah alam itu secara berkesinambungan.
Gambaran lain dari Satoyama adalah sebuah kampung yang berada di tengah-tengah pesawahan. Kampung tersebut dirindangi pepohonan, yang menjaga hutan tradisional dijaga sejak ratusan tahun yang lalu.
Tampaknya kita tidak usah merasa aib menjiplak kehidupan masyarakat tradisional Jepang yang tetap sanggup maju tanpa harus mengorbankan alam sekitar. Tak ada alasan lagi untuk mendalili pekerjaan merusak alam, menggunduli hutan tanpa menanaminya kembali, mencemari lingkungan tanpa berfikir akan nasib masa depan generasi yang akan datang, menebar ranjau paku di jalanan biar memperoleh laba duniawi dari penderitaan orang lain.
Marilah kita melestarikan alam. Semoga bermanfaat