Mari Membuatkan Waktu


Judul : Mari Membuatkan Waktu
link : Mari Membuatkan Waktu


Mari Membuatkan Waktu

Bagi siapa pun, waktu merupakan modal utama dalam kehidupan. Seseorang yang akan berbuat jahat atau bersedekah shaleh niscaya memerlukan terhadap waktu. Waktu pula yang akan menentukan seseorang sukses dan gagal dalam hidupnya. Demikian pula urusan alam abadi kelak, seseorang bisa masuk nirwana atau neraka alasannya ialah waktu. Apalagi untuk urusan keluarga, waktu untuk istri, suami, dan belum dewasa ialah modal awal untuk bisa saling memperlihatkan perhatian dan memenuhi kebutuhan masing-masing.
Prilaku menyimpang serta kejahatan lainnya yang dilakukan anak-anak, sering kali berawal dari masalah pembagian waktu para orang tuanya yang tidak seimbang. Aktifitas di luar banyak mengorbankan anggota keluarga di rumah.
Biasanya, dampak jelek dari hal di atas ialah berkurangnya rasa nyaman dalam keluarga yang sanggup menjadi bom waktu yang siap meledak. Anak-anaklah yang menjadi korban utama. Perlu diingat bahwa dampak jelek pada anak yang menjadi korban ini akan berkepanjangan. Karena tidak akan ada orang yang bisa menggantikan ibu dan bapak kandungnya. Berbeda dengan suami dan istrinya yang akan lebih cepat mendapat pengganti pasangan hidupnya.

Memilih dan Memilah Pekerjaan
Berawal dari menentukan dan memilah pekerjaan, banyak orangtua disibukkan oleh pekerjaannya. Tuntutan maksimal dalam karir kerap mengorbankan keluarga. Walupun pada sisi yang lain, suatu dikala sesorang akan dituntut untuk bisa bekerja sambil meninggalkan keluarga untuk waktu-waktu tertentu.
Memilih jenis pekerjaan, waktu, jarak serta beban fisik dan psikis, sepertinya harus kita pertimbangkan matang. Karena keseimbangan harus tetap dibangun antara mencari kasab dan mengawasi keluarga.
Keluarga tidak hanya membutuhkan rupiah, tapi juga sentuhan ruhiyah yang bermakna komunikasi batin lebih mereka pentingkan. Ibaratnya, untuk sentuhan material anggota keluarga yang ditinggal suami / istri masih bisa berhutang kepada saudara dan tetangga sebelah, tetapi bila urusan batin tidak demikian adanya.
Kebutuhan biologis suami-istri pun harus dipertimbangkan, alasannya ialah sebagai sunnatullah, seseorang yang sudah berumah tangga akan mempunyai hasrat biologis yang tinggi. Jangan hingga terbuka pelanggaran moral jawaban dari kekurangmampuan pemenuhan kebutuhan biologis tersebut. Bukan satu-dua kasus pria melaksanakan nikah sirri di tempatnya bekerja. Itu dilakukan alasannya ialah kebutuhan yang mendesak. Tetapi pernahkah suami memikirkan istrinya yang mempunyai beban penderitaan alasannya ialah kebutuhan biologisnya yang tidak terpenuhi? Mereka tidak akan mempunyai kesempatan yang sama ibarat halnya kaum Bapak yang melaksanakan nikah sirri di kawasan kerjanya.
Bukan hanya dalam kasab saja, tetapi aktifitas sosial pun harus menjadi materi pertimbangan. Tetapi bukan berarti kita melepaskan diri dari aktifitas sosial. Karena dengan aktifitas sosial banyak sekali nilai manfaatnya, baik sebagai dedikasi kita kepada ALlah atau sebagai partisipasi sosial kita terhadap kemaslahatan ummat.  Hanya butuh waktu kita untuk tidak melupakan yang lebih pokok, yaitu pengawasan keluarga. Karena pada kenyataannya banyak orang sukses mengabdi di wilayah sosial juga bisa membina kehidupan keluarganya. Bahkan pada kasus-kasus tertentu, mereka yang aktifis sosial mempunyai kecenderungan lebih sukses dan berhasil dalam membina keluarganya.
Berbagi waktu pun bukan hanya untuk keperluan keluarga saja, tetapi juga keperluan eksklusif yang tidak bisa begitu saja dinomor-duakan. Seringkali para suami-istri yang sibuk dengan pekerjaan dan aktifitas sosialnya melupakan jam makan dan waktu untuk berolah-raga. Padahal dua kasus tersebut begitu penting dan cukup mayoritas dalam mempengaruhi contoh hidup. Baru disadari biasanya ketika penyakit semakin rawan serta sulit untuk disembuhkan, di dikala fisiknya susah distabilkan.
Rasulullah telah memperlihatkan teladan baik bagi kita sebagai umatnya. Dalam hal waktu ia membaginya bukan hanya untuk kebutuhan ibadah yang bersifat hablum minallah saja, tetapi juga bukan hanya untuk umat belaka. Keluarga dan kebutuhan pribadinya senantiasa mendapat porsi yang cukup mendapat jatah dan bab waktu. Senantiasa bisa berkomunikasi dengan para isterinya, akrab dengan anak-anaknya, bahkan untuk memenuhi hajat pribadinya pun selalu ada waktu yang disediakan.
Berbagi waktu dengan keluarga bukan berarti dilarang jauh dari rumah, bukan pula maknanya dilarang mencari kasab di luar kota, luar pulau, bahkan luar negeri, tetapi dengan kesibukan kita sebagai pekerja, pelaku bisnis dan aktifis sosial jangan hingga mengorbankan kiprah utama kita, yaitu membina keluarga serta membangun komunikasi, sehingga kita fahami aneka macam persoalannya dan kehidupan kita juga mereka memahaminya.
Berada di tengah keluarga dengan memaksimalkan waktu, kita akan lebih faham abjad yang dimiliki oleh anggota keluarga kita. Sekaligus akan mengetahui apa kebutuhan serta masalah yang mereka hadapi. Bagaimana pun rumah ialah sekolah utama bagi anggota keluarga. Sebagai pendidikan utama, maka rumah harus mempunyai sarana belajar, materi pembelajaran, bahkan lebih penting lagi siapa yang akan mengajar kita.
Jika kemudahan dan penerima ajarnya ada, sedangkan pengajarnya tidak ada, atau jarang ada di rumah, maka jadilah belum dewasa kita tidak mendapat pembelajaran. Bahkan tidak menutup kemungkinan mereka akan mendapat pembelajaran bukan dari guru yang seharusnya hadir, tetapi dari pembantu atau tetangga, mitra bermain atau orang-orang yang dipandang cocok untuk anggota keluarganya.
Di sinilah awal kesalahan terjadi, alasannya ialah tidak ada waktu untuk anggota keluarga, balasannya mereka memaksa puas mendapat apa yang ada dihadapannya, buka apa yang dibutuhkannya. Satu sama lain tidak lagi mempunyai kiprah saling membuatkan dan memenuhi kebutuhannya. Di antara mereka tidak ada lagi saling menghargai. Maka berbagi waktu lah dengan anggota keluarga.
Penulis: Jejen Jaenudin