Makalah Konsep Kiprah Dan Kewajiban Guru | Artikel Pendidikan


Judul : Makalah Konsep Kiprah Dan Kewajiban Guru | Artikel Pendidikan
link : Makalah Konsep Kiprah Dan Kewajiban Guru | Artikel Pendidikan


Makalah Konsep Kiprah Dan Kewajiban Guru | Artikel Pendidikan

Guru mempunyai kiprah dan fungsi yang sangat strategis dalam pengembangan sumber daya insan di Indonesia ke depan, namun kiprah dan fungsi mereka sebagai guru belum sepenuhnya sesuai dengan harapan. Hal ini tidak ibarat yang terjadi diberbagai belahan dunia bahkan dikawasan Asia Tenggara kiprah dan fungsi sebagai guru begitu sangat besar kuat pada aneka macam sektor.
Sementara kiprah dan fungsi para guru begitu banyak, baik yang bersifat administratif maupun penyelesaian tugas-tugas akademik. Masih banyak diantara guru yang melaksanakan kiprah dan kewajibannya yang penting kiprah akan saya laksanakan sebagaimana mestinya. Mereka tidak berpikir perihal kiprah lain yang berkaitan dengan mendidik, misalnya; menyamaikan nilai-nilai (value) kepada para penerima didiknya, dan lain sebagainya.Untuk itulah maka untuk kita semua para guru kehidupan, penulis ingin memberikan dengan segala hormat : |Makalah Konsep Tugas dan Kewajiban Guru | Berupa Artikel Pendidikan.

Konsep Guru Ideal
Sebagaiman telah diutarakan sebelumnya, memang benar sampaumur ini banyak tuntutan yang sangat luas bisa terhadap kualitas guru. Tuntutan tersebut muali dari kemampuan secara administratif ataupun yang bersifat kualitatif. Secara administratif tuntutan tersebut berupa kemampuan yang bersifat kualitatif berkaitan dengan kemampuan guru dalam bidang pengetahuan yang harus memadai, baik pengetahuan materi pengajarannya maupun pengetahuan penunjang lainnya. Selain dalam bidang pengetahuan, seorang guru juga dituntut kedua bidang di atas, seorang guru dituntut mempunyai perilaku yang sanggup diteladani oleh semua penerima didik. Selain kedua bidang di atas, seorang guru dituntut pula kompeten dan terampil dalam merancang dan mengelola proses mencar ilmu mengajar.

Di samping aneka macam tuntutan di atas, ada juga sebagian pengamatan pendidikan khususnya aspek guru yang menuntut terhadap lembaga-lembaga yang memproduk tenaga kependidikan yaitu LPTK. Mereka beranggapan bahwa LPTK tidak serius bahkan tidak bisa melahirkan para guru yang kompeten dan profesional. Tetapi ada yang berpandangan bahwa tidak bisa LPTK disalahkan begitu saja, alasannya LPTK sanggup menghasilkan para lulusannya tersebut harus disertai dengan aneka macam komponen yang memadai. Komponen-komponen tersebut antara lain sarana yang dimiliki oleh LPTK. Kenapa kurang sarananya ? Jawabannya yakni lantaran kurangnya dana ? Lalu siapa yang bertanggung jawab penyediaan dana LPTK sampaumur ini ? Ya pemerintah, berapa pemereintah penyediaan alokasi dana untuk penyelidikan secara keseluruhan sampaumur ini ? Konon katanya hanya 20% itupun gres pernyataan politik pemerintah dan akan dilaksanakan di tahun-tahun yang akan datang. Kaprikornus kesimpulannya kualitas guru sampaumur ini tidak bisa disalahkan pada satu pihak contohnya LPTK.

Tugas dan Kewajiban Guru

Untuk menjawab aneka macam tuntutan positif di atas, tolong-menolong secara teoritis para hebat telah mengemukakan aneka macam pandangan perihal konsep ideal guru yang baik, syarat ataupun sifat yang harus dimiliki sseorang guru. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 40 menyatakan bahwa ‘ pendidikan dan tenaga kependidikan berkewajiban: a) manciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis, b) mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan, c) memberi pola dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya “.
Menurut Chaibib Thoha, pengertian pendidik dalam Islam yakni sebagai murrabi, mu’allim dan muaddibi[1]. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa sebagai murrabi guru agam harus mempunyai sifat-sifat robbani, yaitu nama yang diberikan bagi orang-orang yang bijaksana, terpelajar, dalam bidang pengetahuan, bertanggung jawab, penuh kasih sayang terhad penerima didik. Pengertian mu’allim mengandung pengertian menguasai ilmu teoritik, kretaivitas, komitmen tinggi dalam menyebarkan ilmu serta perilaku yang selalu menjungjung tinggi nilai-nila ilmiah dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan muaddib yakni intergrasi antar ilmu dengan amal.

Lebih lanjut Muchtar Bochori beropini bahwa salah satu indikator guru yang malas yakni guru yang tidak mempunyai gairah untuk menyebarkan kemampuan berpikirnya, melainkan hanya mengajarkan kepada penerima didik apa-apa yang ia ketahui[2]. Ia mengutup keyakinan klasik yang hingga hari ini masih be), rlaku, yang berbunyi sabagai berikut :

Men kan niet onderwijzen wat men weet (kita sanggup mengajarkan apa yang kita ketahui) ; men kan niet onderwijzen wat men wil (kita sanggup mengajarkan apa yang kita kehendaki) ; men kan alleeen onderwizen wa men is (kita hanya sanggup mengajarkan apa yang memang ada dalam diri kita).

Berdasarkan ketiga pandangan diatas sanggup dipahami bahwa kiprah dan kewajiban guru sangat mulia, namun mempunyai resiko yang sangat berat, jikalau tidak dilakukan dengan baik dan profesional. Sebab ibarat yang telah dikemukakan sebelumnya, pekerjaan mendidik dan mengajar ini berkaitan dengan upaya pendewasaan seseorang supaya lebih matang dan mengalami perubahan antara lain bidang pengetahuan, perilaku ataupun keterampilan.

Untuk mencapai target tersebut, sampaumur ini pemerintah mulai mewacanakan kegiatan peningkatan guru yang berwawasan Iptek. Program ini di rencanakan dalam rangka meningkatkan kemampuan guru dalam bidang Iptek, sehingga dalam proses belajarnya seorang guru sanggup memperkenalkan kepada penerima didikanya masala-masalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sampaumur ini. Istilah kegiatan ini dinamakan kegiatan Sertifikasi Guru Wisata Iptek, yang digegas oleh KMRT dan Depdiknas yang dikhususkan bagi para guru MIPA[3].

Rujukan:
[1] Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) hal 11
[2] Muchtar Buchori, Spektrum Problem Pendidikan di Indonesia, (Yogyakarta: 1994). Hal. 107-109
[3] www.PR.com/cetaK0702/06/1104.htm