Manajemen Syukur | Tafsir Ayat Ihwal Bersyukur


Judul : Manajemen Syukur | Tafsir Ayat Ihwal Bersyukur
link : Manajemen Syukur | Tafsir Ayat Ihwal Bersyukur


Manajemen Syukur | Tafsir Ayat Ihwal Bersyukur

Ada dua istilah di dalam fatwa Islam yang menggambarkan dua keadaan berbeda. Yang pertama disebut nikmat, yang kedua disebut musibah. Kedua istilah ini merupakan perwujudan dari sifat Maha Rahman dan Maha Rahimnya Allah, Maha Pengasih dan Maha Penyayangnya Allah. Namun dalam pandangan manusia, istilah pertama menggambarkan kebahagiaan, kemudahan, suka cita, dan sukses. Sedangkan istilah kedua menggambarkan kesedihan, kesusahan, sedih cita, dan kegagalan. Karena itu, berdasarkan tabi’atnya insan selalu menginginkan kenikmatan dan tidak menghendaki kesusahan. Sifat dan tabi’at ini telah digambarkan oleh Allah di dalam surat al-Ma’arij:19-21


{ إِنَّ الإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا }. { إِذَا مَسَّهُ الشَّرُ جَزُوْعًا }. { وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا }

Sesungguhnya insan diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir (19); Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah (20); dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir (21).


Ayat ini dengan terang menggambarkan sifat dan tabi’at manusia, yaitu apabila ditimpa kesusahan dan kekurangan, mereka takut, gelisah dan tidak menerima. Tetapi ketika diberi kenikmatan, baik berupa harta maupun kesuksesan karir, mereka sama-sekali tidak ingat siapa sebenarnya yang memperlihatkan semua itu.


Karena itu bagaimana seharusnya perilaku kita sebagai orang yang beriman kepada Allah ketika menghadapi dua keadaan tersebut?


Bagi orang beriman, kedua keadaan ini merupakan uji kualifikasi keimanan kita. Apakah ketika diberikan kenikmatan akan syukur ataukah kufur? Sedangkan ketika terkena musibat, apakah akan tabah atau putus asa? Di dalam surat al-Anbiya:35 dijelaskan bahwa ujian Allah yang diberikan kepada insan itu tidak hanya berupa kegagalan tetapi juga berupa kesuksesan


كلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ (35


Tiap-tiap yang berjiwa akan mencicipi mati. Kami akan menguji kau dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kau dikembalikan. Al-Anbiya:35


Namun sebenarnya ujian dalam bentuk kenikmatan, kebahagiaan, dan kesuksesaan jauh lebih berat dibandingkan ujian dalam bentuk kesusahan dan kegagalan. Karena itu tidak sedikit insan yang bisa istiqamah ketika diuji oleh kesusahan, namun lupa diri ketika diuji oleh kesenangan, bahkan ia tidak menyadari bahwa kesenangan itu juga merupakan ujian dari Allah. Sehubungan dengan itu Umar bin Khatab pernah menytakan


“Apabila kita diuji dengan kesusahan, kami bisa sabar. Tapi ketika diuji dengan kesenangan kita tidak sadar”


Yang paling berat yaitu menghilangkan rasa ujub, sombong dalam diri kita, lantaran seakan-akan kebahagian dan kesuksesan itu diciptakan oleh ia sendiri, semata-mata hasil prestasi manusia. Agar kita tidak termasuk orang-orang yang ujub, sombong di hadapan Allah, maka ada beberapa hal yang diajarkan oleh Islam kepada kita ketika mendapatkan kenikmatan


Pertama, ketika mendapatkan kenikmatan, kebahagian, dan kesukseaan kita diwajibkan untuk bersyukur. Apa sih yang namanya syukur itu? Syukur yaitu “Tashawwurun ni’mati wa izhharuha” artinya “Gambaran dalam benak ihwal nikmat dan menampakkannya ke permukaan” Menampakkan nikmat antara lain mempergunakan kenikmatan itu pada daerah dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah sebagai pemberi nikmat itu.


Dengan demikian syukur berdasarkan Islam meliputi tiga aspek


1. Bersyukur dengan hati

Yaitu mengakui dan menyadari sepenuhnya bahwa segala nikmat yang diperoleh bersumber dari Allah. Dan tidak ada seorang pun yang sanggup memperlihatkan kenikmatan itu selain Allah. Sebagai contoh: Ketika lahir ke dunia insan tidak tahu apa-apa. Lalu oleh Allah diberi pendengaran, penglihatan dan hati. Coba perhatikan Udara segar yang kita hirup setiap waktu, cahaya matahari yang menjadi sumber energi, terangnya bulan pada malam hari, gunung-gunung yang menjulang tinggi dengan kekayaan alamnya, air yang selalu mengalir untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia; itu semua yaitu sebagian kecil dari nikmat-Nya. Demikian pula denyut jantung yang mengalirkan darah keseluruh tubuh, paru-paru yang selalu mengisap udara segar dan mengeluarkan udara kotor, ginjal yang senantiasa bekerja tanpa mengenal lelah; itu semua yaitu anugerah ilahi, yang kesemuanya bekerja di luar pengawasaan kita, termasuk proses pencernaan masakan yang masuk perut kita.


2. Bersyukur dengan lidah

Yaitu mengucapkan al-hamdu lillahi rabbil ‘alamin, artinya segala puji bagi Allah yang kuasa pengurus alam semesta ini. Ucapan ini memperlihatkan bahwa kekuasaan kita terhadap alam semesta itu tidak absolut. Kepintaran kita belum ada apa-apa dibanding ilmu Allah. Kekuatan kita belum sebarapa dibandingan dengan kekuasaan Allah. Contoh berkedip, siapa yang sanggup menahan kedipan semoga tidak berkedip. Siapa yang bisa melawan rasa ngantuk ketika sudah waktunya untuk tidur.


3. Bersyukur dengan amal perbuatan,
Di antara bentuknya


  • mempergunakan anggota badan dalam melaksanakan hal-hal yang positif yang diridhai Allah. Ketika anggota badan digunakan maksiat, maka ia sebenarnya tidak mau. Karena ia diciptakan oleh Allah guna kebaikan diri dan insan pada umumnya, bukan untuk kemaksiatan.
  • Menggunakan harta sesuai fatwa Islam dan menafkahkannya di jalan Allah
  • Jika nikmat itu berupa ilmu, ia akan memanfaatkan ilmu itu untuk keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan manusia, bukan membinasakan dan menghancurkan kehidupan manusia.


Ringkasnya, syukur dengan amal perbuatan itu berarti melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan Allah, di antaranya yang sering terlupakan oleh kita yaitu sujud syukur, tidak perlu wudhu, tidak perlu menghadap kiblat, tanpa pelu membaca apapun.


Terkait dengan keberhasilan dalam pendidikan, semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, maka bukti syukur kepada Allah itu ia harus semakin taqwa, semakin banyak ilmunya, ia harus semakin taat dalam beribadah. Semakin banyak gelarnya, ia harus semakin baik akhlaknya, baik terhadap orang tua, keluarga, maupun orang lain.


Kedua, ketika mendapatkan musibat kita bersabar. Apa yang dimaksud dengan musibat dan tabah itu?

Musibat yaitu peristiwa apa saja yang menimpa insan yang tidak dikehendakinya, ibarat sakit, rugi dalam berusaha, kehilangan barang, meninggal, peristiwa alam, ibarat Gempa bumi, wabah penyakit, kalah perang, paceklik, dan kiamat.


Musibah merupakan peristiwa yang tiba atas ketentuan Allah dan tidak bisa ditolak. Rasul bersabda

“Ya Aisyah (ingatlah) sesungguhnya Allah Azza wa jalla, apabila Ia berjehendak mengakibatkan sesatu yang kecil menjadi besar, maka akan terjadi. Dan sebaliknya apabila ia berkehendak mengakibatkan sesuatu yang besar menjadi kecil maka itu pun akan terjadi”. Ad-Durrul Mantsur, I:381


Manusia diwajibkan untuk mnghindar dri musibah yang sudah menimpa dirinya. Kalau sakit ia harus berobat. Kalau tertimpa banjir, ia harus menghindar dari ancaman banjir. Upaya untuk menghindar dari musibat itu bukan pada tingkat pencegahan, ibarat mencegah datangnya penyakit, tetapi pada tingkat penanggulangannya.


Musibat tidak membedakan target yang dikenainya. Ia sanggup menimpa insan shaleh (seperti kepada para nabi) atau insan yang biasa berbuat maksiat. Bedanya, kalau musibat itu menimpa orang saleh, maka itu dipandang sebagai penguji keimanan, sebagaimana diterangkan oleh Allah dalam surat al-Baqarah:155-156


وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنْ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرْ الصَّابِرِينَ(155)الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ(156)أُوْلَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُوْلَئِكَ هُمْ الْمُهْتَدُونَ(157)


Dan sesungguhnya Kami akan menguji kalian dengan sebagian dari ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berilah kabar bangga bagi mereka yang sabar. Yaitu yang apabila kena kepada mereka satu musibah, mereka berkata, “Sesungguhnya kami ini milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya lah kami akan kembali’. Kepada mereka akan turun karunia-karunia dan rahmat dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. Q.S. Al Baqarah : 155-157


Pada ayat ini (Q.S. Al Baqarah : 155) terkandung satu aba-aba bahwa seorang yang telah mengaku beriman tidak lantas terjamin akan selalu diluaskan rezekinya, dimudahkan kehidupannya, dan dihilangkan segala rasa ketakutannya

Tetapi jikalau menimpa orang yang biasa berbuat maksiat, maka musibah harus diartikan sebagai siksan. Allah berfirman dalam surat Muhamad:10


أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ دَمَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلِلْكَافِرِينَ أَمْثَالُهَا(10


Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka sanggup memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan mendapatkan (akibat-akibat) ibarat itu.


Walaupun musibah itu secara lahiriah tidak menyenangkan, namun bagi orang shaleh hakikatnya dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan derajat keimanan di sisi Allah swt. Sedangkan bagi orang kafir musibah memang dimaksudkan untuk membalas kekafiran mereka


Manajemen Musibat

Islam telah memperlihatkan tuntunan menganai cara menghadapi musibah


1. Sabar dalam menghadapi musibat itu

Imam Al Qurthubi (II : 174) membagi tabah kepada dua bagian:

tabah dalam menjauhi maksiat kepada Allah, orang yang demikian dinamakan Mujahid. Dan tabah dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, orang yang demikian dinamakan ‘Abid. Jika kedua sifat ini sudah bersatu pada diri seorang hamba, maka Allah swt. akan menanamkan rasa ridha di dalam hatinya terhadap segala ketetapan Allah bagi dirinya. Dan tanda keridhaan itu yaitu tentramnya hati ketika menghadapi semua peristiwa yang menimpa diri, baik yang disukai atau pun dibenci.


2. Ciri kesabaran itu terlihat dari ucapan yang keluar dikala menghadapi musibah

Dalam H.r. Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad diterangkan bahwa Rasul mengajarkan: jikalau kalian terkena musibat ucapkan inna lillahi wa inna ilaihi Raji’un. (Sesungguhnya kami milik Allah dan kepadanya kami akan kembali). Di kita terkadang ada kesalahan persepsi, seakan-akan perkataan ini yaitu ucapan bagi kematian. Sehingga kalau tersandung batu, jarang ada yang mengucapkan kalimat, bahkan yang keluar justru sumpah serapah, maaf keluar pula ucapan kebun binatang: anjing dan sebagainya. Padahal Rasul sendiri pernah mengucapkannya hanya sekedar lampu padam, yang terkedang oleh kita dianggap sepele.


Ucapan “Inna lillahi” merupakan refleksi kesadaran dan pengukuhan tulus atas penghambaan diri kepada Allah swt. dan pengukuhan atas sifat kepemilikan-Nya. Sedangkan ucapan wa inna ilaihi raji’un yaitu satu pengukuhan terhadap kefanaan diri dan kebangkitan sehabis kematian, serta merupakan satu keyakinan bahwa segala sesuatu tanpa terkecuali daerah kembalinya itu hanya kepada Allah swt. Al Maraghi. II:25


3. Setelah ucapan itu, dilanjutkan dengan doa

Allahumma ajurni fi mushibati, wakhlufli khairan minha (Ya Allah, berilah saya pahala dalam musibah ini dan gantikanlah bagi ku dengan sesuatu yang lebih baik daripadanya)


Kaprikornus orang yang tabah itu ialah orang yang ketika menghadapi satu musibah, dengan penuh kesadaran dan keikhlasan mengucapkan kalimat istirja, yakni mengakui bahwa jangankan harta yang hilang, jabatan yang tertinggal, keluarga yang meninggal serta impian yang tidak terwujud, diri kami pun milik Allah. Bila Allah menghendaki untuk mengambilnya maka kami akan rela dan tidak akan mempertahankannya. Dan orang yang tabah itu menyakini bahwa tidak ada suatu yang kekal di dunia ini, termasuk dirinya sendiri. Semuanya akan kembali kepada Allah swt. jikalau orang lain kini mungkin ia besok atau lusa.


Dari fatwa Islam ini kita mendapatkan ilmu yang besar bahwa ketika seseorang mendapat musibah kemudian bersabar, maka ia mendapatkan banyak sekali keuntungan, yaitu


  • Pahala atas kesabarannya itu
  • Terjadi peningkatan kualitas keimanan yang luar biasa
  • Menyediakan ladang pahala dan medan jihad bagi orang lain yang hendak memperlihatkan bantuan, baik moril maupun materil.


Inilah sifat orang beriman yang dikagumi oleh para malaikat ketika dinyatakannya di hadapan Allah.


3. sesuatu yang menimpa seseorang, sekecil apa pun bentuk dan sifatnya. Tafsir Al Qurthubi, II :175.

Pada ayat selanjutnya (Q.S. Al Baqarah : 156) Allah swt. menunjukan sifat orang yang sabar, yaitu mereka yang apabila ditimpa satu musibah, berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Sesungguhnya kami ini milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya lah kami akan kembali)”

Karena itu, hendaklah kita senantiasa berintrospeksi melalui peningkatan keilmuan kita ihwal fatwa Islam.


akan tetap berpegang teguh kepada kebenaran atau justru kebatilan. Tetapkah melaksanakan kebaikan atau justru kejahatan. Ketika Allah menguji manusia, apakah Allah tahu akan bagaimana keadaan orang tersebut sehabis diuji?

Dua keadaan itu akan senantiasa di hadapi oleh insan ketika hidup di dunia ini. Setiap insan yang hidup didunia ini akan senantiasa menghadapi dua keadaan yang diistilahkan oleh Islam dengan nikmat dan musibat.


وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنْ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرْ الصَّابِرِينَ(155)الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ(156)أُوْلَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُوْلَئِكَ هُمْ الْمُهْتَدُونَ(157)


Dan sesungguhnya Kami akan menguji kalian dengan sebagian dari ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berilah kabar bangga bagi mereka yang sabar. Yaitu yang apabila kena kepada mereka satu musibah, mereka berkata, “Sesungguhnya kami ini milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya lah kami akan kembali’. Kepada mereka akan turun karunia-karunia dan rahmat dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. Q.S. Al Baqarah : 155-157

Tafsir Mufradat

(الصبر) yaitu menahan diri dalam kesempitan berdasarkan pertimbangan akal, syariat atau keduanya. Sabar mempunyai makna yang luas dan nama yang berbeda bergantung kepada kejadiannya. Jika menahan diri lantaran satu musibah dinamakan (الصبر) sebaliknya (الجزع) (putus asa). Jika dalam peperangan dinamakan (الشجاعة) (pemberani) sebaliknya (الجبن) (penakut). Jika ditimpa kegelisahan dinamakan (رحب الصدر) (lapang dada) sebaliknya (الضجر) (gelisah). Dan jikalau dalam menjaga ucapan dinamakan (arab) (merahasiakan) sebaliknya (arab) (membuka rahasia). Allah swt. menamakan semua itu sebagai suatu kesabaran. Ar Raghib : 281


(المصيبة) yaitu sesuatu yang menimpa seorang sekecil apa pun bentuk dan sifatnya Al Qurthubi, II :175.
Tafsir Ayat


Setiap peristiwa yang menimpa baik senang atau pun susah, bergantung kepada siapa yang menerimanya. Jika yang tertimpa itu kaum mukminin maka dinamakan ujian. Diuji dengan keadaan sehat, senang, dan untung, apakah syukur atau kufur? Serta diuji dengan keadaan susah, sakit, dan rugi, apakah tabah atau putus asa? Ujian yang paling berat yaitu kesenangan, dengan ujian ini banyak yang gagal. Sedangkan ujian dengan penderitaan banyak yang tabah serta sadar, bahkan sering melahirkan banyak cita-cita.


Adapun jikalau yang tertimpa itu kafir atau pendurhaka, hal itu bukan ujian melainkan azab atau laknat. Diberi keadaan sehat, senang, dan untung, laknat atau istidraj-lah namanya. Diberi keadaan susah, sakit, dan rugi, azab disebutnya.


Ayat di atas dan beberapa ayat semisal pada daerah lainnya, merupakan citra sebagian ujian dari Allah swt. terhadap hamba-hamba-Nya yang mukmin. Apakah mereka tabah dalam menghadapinya, maka layak mendapat pahala dari Allah swt. atas kesabarannya, atau mereka malah frustasi ketika menjalaninya, maka pantaslah ia mendapat murka-Nya.


Pada ayat di atas juga (Q.S. Al Baqarah : 155) terkandung satu aba-aba bahwa seorang yang telah mengaku beriman tidak lantas terjamin akan selalu diluaskan rezekinya, dimudahkan kehidupannya, dan dihilangkan segala rasa ketakutannya. Agama Islam yaitu agama fitrah. Segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan sunnatullah yang telah digariskan; ujian berupa kesenangan dan kesusahan akan terjadi berdasar aturan alasannya akhir (kausalitas), maka mukmin sejati akan tabah ketika menghadapi kesusahan dan selalu bersukur ketika menjalani kesenangan. Al Maraghi, II : 24


Allah swt. dalam menguji hamba-hamba-Nya baik dengan kesenangan atau pun dengan kesusahan ibarat dengan rasa takut, kelaparan, kehilangan harta, jiwa, dan hasil panen. Ia berkehendak meningkatkan derajat mereka. Sebab bagaimana mungkin derajat seorang seorang hamba bertambah mulia tanpa menempuh satu ujian terlebih dahulu. Hamba yang lulus ketika diuji dengan satu ujian derajatnya akan dimuliakan, sedangkan hamba yang tidak lulus derajatnya akan dihinakan.


Imam Al Qurthubi (II : 174) membagi tabah kepada dua bagian:

tabah dalam menjauhi maksiat kepada Allah, orang yang begini dinamakan Mujahid. Dan tabah dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, orang yang demikian dinamakan ‘Abid. Jika kedua sifat ini sudah bersatu pada diri seorang hamba, maka Allah swt. akan mewarisi rasa ridha di dalam hatinya terhadap semua yang Allah memutuskan baginya. Dan tanda keridhaan itu yaitu sakinahnya hati terhadap semua apa yang menimpa diri baik sesuatu yang disukai atau pun dibenci.


Pada ayat selanjutnya (Q.S. Al Baqarah : 156) Allah swt. menunjukan sifat orang yang sabar, yaitu mereka yang apabila ditimpa satu musibah, berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Sesungguhnya kami ini milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya lah kami akan kembali))”


Ucapan “Inna lillahi” merupakan satu pengukuhan terhadap penghambaan diri kepada Allah swt. dan pengukuhan terhadap sifat kepemilikan-Nya. Dan ucapan wa inna ilaihi raji’un yaitu satu pengukuhan terhadap kefanaan diri dan kebangkitan sehabis mati, serta merupakan satu keyakinan bahwa segala sesuatu tanpa terkecuali daerah kembalinya itu hanya kepada Allah swt. Al Maraghi. II:25


Kaprikornus orang yang sabat itu ialah orang yang ketika menghadapi satu musibah, dengan penuh kesadaran dan keikhlasan mengucapkan kalimat istirja, yakni mengakui bahwa jangankan harta yang hilang, jabatan yang tertinggal, keluarga yang meninggal serta impian yang tidak terlaksanakan, diri kami pun milik Allah. Bila Allah menghendaki untuk mengambilnya maka kami akan rela dan tidak akan mempertahankannya. Dan orang yang tabah itu menyakini bahwa tidak ada suatu yang kekal di dunia ini, termasuk dirinya sendiri. Semuanya akan kembali kepada Allah swt. jikalau orang lain kini mungkin ia besok atau lusa.


Dalam hadis riwayat Ad-Dailami, siti Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah tiba dan ibu jarinya tertusuk duri, maka ia beristirja dan mengusap-usapnya. Ketika saya mendengar istirja rasul saya mendekati dan melihatnya. Ternyata hanya luka kecil dan saya pun mentertawakannya. Kataku, “Ya Rasulullah, demi Allah, apakah harus beristirja hanya lantaran tertusuk duri sekecil ini?” Beliau tersenyum dan menepuk-nepuk pundakku. Sabdanya

“Ya Aisyah (ingatlah) sesungguhnya Allah Azza wa jalla, apabila Ia berjehendak mengakibatkan sesatu yang kecil menjadi besar, maka akan terjadi. Dan sebaliknya apabila ia berkehendak mengakibatkan sesuatu yang besar menjadi kecil maka itu pun akan terjadi”. Ad-Durrul Mantsur, I:381


Dari riwayat di atas, terlihat bagaimana Rasulullah saw. memaknai satu musibah yang tidak mengenakkan, menyakitkan serta menimpa seorang hamba sekecil apa pun termasuk hanya tertusuk duri yaitu musibah, dan harus dihadapi dengan kesabaran, kesadaran, dan keikhlasan dan terlahir kalimah istirja.


Pada riwayat tersebut juga Rasulullah saw. mengajarkan jangan sekali-kali kasus yang kecil itu dianggap sepele dan tidak ada artinya. Sebab terkadang sesuatu yang besar dan tidak terperhitungkan itu justru berasal dari masalah-masalah kecil yang tidak terperhitungkan.


Selebih dari itu, ketika memahami makna musibah pasa ayat di atas, Hasan Al-Bisri pernah berkata,


Apabila engkau ketinggalan salat berjamaah hendaklah beristirja, lantaran itu merupakan satu musibah. H.R. Abdu bin Humaid.


Dari perkataan ini, kelihatannya Hasan al-Bisri ingin menanamkan satu pengertian bahwa yang namanya musibah itu bukan hanya dikenai sesuatu yang tidak mengenakkan dan dibenci saja, tapi ketinggalan dalam berinfak saleh pun hendaknya dirasakan sebagai satu musibah. Dan hendaknya kaum mukminin merasa terkondisikan pada pemahaman ibarat itu.


Setelah menunjukan sifat orang yang sabar, pada ayat selanjutnya (Q.S. Al-Baqarah:157) Allah swt. menjanjikan bagi hamba-hamba-Nya yang tabah ketika menghadap musibah. Bagi mereka akan mendapat salawat dari Tuhan mereka, yakni pahala atas kesabarannya, demikian pula limpahan rahmat, penggantian yang lebih, dan mereka diberi petunjuk kepada kebahagian alam abadi yang abadi.


Umar bin Khatab pernah berkata, “Ayat ini yaitu sebagus-bagus bekal dan sebagus-bagus tambahan. Ayat Kepada mereka itulah akan turun shalawat dan rahmat dari Tuhan mereka ini yaitu perbekalan, dan ayat (Waulaika humul muhtadun) inilah tambahannya. H.R. Al-Hakim


Muhamad : 10

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ دَمَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلِلْكَافِرِينَ أَمْثَالُهَا(10)


Kenikmatan

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ(18)


Dan jikalau kau menghitung-hitung nikmat Allah, pasti kau tak sanggup memilih jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang


An-Nahl:18

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمْ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ(78)


Dan Allah mengeluarkan kau dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kau pendengaran, penglihatan dan hati, semoga kau bersyukur


An-Nahl:78


وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ (7)

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jikalau kau bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jikalau kau mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih


Fitnah/ujian


وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ(28)

Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar


al-Anfal:28

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ(15)


Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar


at-Taghabun:15

فَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلْنَاهُ نِعْمَةً مِنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ بَلْ هِيَ فِتْنَةٌ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (49)


Maka apabila insan ditimpa ancaman ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: "Sesungguhnya saya diberi nikmat itu hanyalah lantaran kepintaranku." Sebenarnya itu yaitu ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui


az-Zumar:49



ayat-ayat ini menggambarkan bahwa orang yang beribadah kepada Allah setengah-setengah, apabila mendapatkan kebaikan menjadi tenang hatinya, tetapi apabila mendapatkan cobaan menjadi berbalik.


Sejak insan diciptakan tidak terbilang kenikmatan yang telah diberikan Allah kepadanya. Demikian banyaknya kenikmatan itu sehingga tidak seorang pun yang sanggup menghitung berapa banyak kenikmatan yang telah dianugerahkan Allah kepada dirinya. Orang yang miskin pun tentu menyadari limpahan nikmat itu lantaran hidupnya sendiri hanyalah pemberian Allah.


Udara segar yang kita hirup setiap waktu, cahaya matahari yang menjadi sumber energi, terangnya bulan pada malam hari, gunung-gunung yang menjulang tinggi dengan kekayaan alamnya, air yang selalu mengalir untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia; itu semua yaitu sebagian kecil dari nikmat-Nya. Demikian pula denyut jantung yang mengalirkan darah keseluruh tubuh, paru-paru yang selalu mengisap udara segar dan mengeluarkan udara kotor, ginjal yang senantiasa bekerja tanpa mengenal lelah; itu semua yaitu anugerah ilahi, yang kesemuanya bekerja di luar pengawasaan kita.

Di samping nikmat hissi (kongkret) yang tak kunjung habis ibarat di atas, Allah juga memperlihatkan nikmat maknawi (abstrak), berupa pedoman hidup, fatwa yang memperlihatkan kenikmatan, ketentraman batin dan kepuasan jiwa, yaitu Alquran. Quran yaitu nikmat terbesar di antara sejumlah nikmat yang diberikan Allah kepada manusia.


Qarun yang hartanya melimpah ruah, Fir’aun yang mempunyai kedudukan tinggi dan kekuasaan yang besar sebagai raja, di dalam Quran dinyatakan sebagai orang yang tidak mendapat kenikmatan, lantaran mereka tidak mempunyai pedoman hidup yang sanggup menentramkan.

Orang yang bertambah harta kekayaannya tentu bertambah pula rasa was-wasnya. Bertambah tinggi kedudukan seseorang, maka bertambah pula kecemasan dan kekhawatirannya. Lain halnya dengan agama. Semakin bertambah berpengaruh seseorang dalam beragama, maka semakin bertambah berpengaruh jiwanya. Akan lebih tabah dalam menghadapi pelbagai problematika kehidupannya.

Sebagai bukti bahwa Quran merupakan nikmat yang terbesar, kita sanggup memperhatikan bagaimana bangsa Arab sehabis memeluk Islam. Dalam waktu yang relatif singkat bangsa Arab menjadi bangsa yang maju, yang sanggup mengungguli bangsa-bangsa lain yang ada di sekitarnya, yang dikenal sebagai bangsa adikuasa pada masa itu.


Setelah bangsa Arab memeluk agama Islam, berubahlah wajah kota Mekah dan Madinah. Semula sering terjadi kontradiksi antar suku, terutama Aus dan Khajraj di Madinah. Kini mereka menjadi rukun dan damai. Mereka saling mencintai, bahu-membahu, tolong-menolong, penuh dengan rasa persaudaraan dan kesetiakawanan.

Bangsa Arab yang sebelumnya pemabuk berat, di mana pemabukan bukan saja dilakukan oleh orang kaya dan kalangan elit melainkan juga oleh orang miskin dan kalangan alit (bawah). Ternyata dengan cahaya Quran mereka bisa meninggalkan kebiasaan buruknya secara menyeluruh. Sementara bangsa lain belum bisa memberantasnya, padahal mereka menyadari bahwa hal itu merusakkan kesehatan.

Kerajaan Roma dan Persia yang merupakan negara super power pada waktu itu, ternyata dalam waktu yang relatif singkat, keduanya tumbang dengan kekuatan Alquran. Sedangkan bangsa Arab yang semula jauh terbelakang, moralnya bejat, pendidikannya rendah, pemabuk, penuh dengan sengketa dan huru-hara ternyata menjadi bangsa yang maju, bernegara yang aman, berakhlakul karimah, berbudi luhur, penuh dengan kesetiakawanan dan rasa solidaritas yang kuat. Itu semua berkat fatwa dan didikan Alquran. Quran membangkitkan kesadaran setiap insan. Mengikat dan mempersatukannya dalam satu kesatuan masyarakat. Membangun bangsa menjadi cerdas dan terdidik, sehingga melahirkan suatu peradaban umat insan yang dilandasi moral yang tinggi ibarat yang kemudian dikenal sebagai zaman keemasan Islam.