Judul : Cerpen : Keinginan Untuk Ayah
link : Cerpen : Keinginan Untuk Ayah
Cerpen : Keinginan Untuk Ayah
Aku terdiam. Pura-pura memperhatikan tayangan telivisi di hadapanku kala ayah gres saja pulang dari kantornya.
“assallamualaikum..” salam ayah lembut seraya memeluk kedua adikku—Rega dan Rani.
“nih ayah belikan donat kesukaan kalian!” ayah tampak mengeluarkan kotak berwarna orange dari dalam tas yang eksklusif disambut gembira oleh kedua adik ku.
“jangan berebut!” pesannya seraya melintas dihadapanku menuju kamar. Aku meringis.
entah mengapa sedari dulu saya selalu merasa di anak tiri-kan oleh ayah. Sikapnya selalu saja hambar tak ibarat pada kak Ryan dan kedua adikku. Dan hal ini lah yang selalu menjadi alasan ku mengapa saya tak betah berada di rumah, semua penghuninya bagaikan orang gila bagi ku-kecuali bunda. Tak jarang saya berfikir apa saya benar-benar anak tiri? Tapi bunda selalu menyanggah hal itu, dia selalu saja bisa menciptakan ku yakin bahwa saya ini benar-benar anaknya, namun semenit kemudian keyakinan itu hilang lagi kala dihadapkan dengan konkret perilaku ayah pada ku.
“teteh! Makan malam dulu..” panggil bunda dari arah ruang makan. Dengan perasaan enggan ku langkahkan kaki menuju dingklik ku yang letaknya sempurna di samping depan ayah.
“lesu banget sih teh? Sakit?” Tanya bunda, saya menggelang seraya berusaha sungingkan senyum.
“makan yang banyak ia..” ujar bunda lagi seraya menaruh lauk pauk di piringku.
“yah.. lusa insayaAllah Ryan ikut olimpiade kimia lagi loh..” ujar kak’Ryan di sela makannya.
“oh ya? Hebat deh anak ayah.. harus menang lagi ya!” puji ayah diiringi lirikan tajam kearah ku. Dan saya akal-akalan tak peduli.
“gimana kemarin? Novel kau jadi diterbitin?” Tanya ayah hambar tanpa menatap ku sama “belum ada konfirmasi yah” sahut ku pelan. Ayah berguma tak terang menanggapinya. Dan lagi perasaan sakit itu muncul jalari tiap inci hatiku, menciptakan nafsu makan ku hilang seketika. Aku tau di antara anggota keluarga hanya saya yang kurang berminat dengan segala hal berbau ipa, padahal jelas-jelas gen di keluarga ku 100% ipa. Tapi saya berbeda! Aku lebih tertarik tuk merangkai kata dan pada segala hal yang berbau kuno. Yah.. walau ipa ku tak begitu buruk, “ayah tau ga?! Cerpen teh Raras ada di majalah loh!” ucap Rega dengan senyum mengembang. Ayah hanya tersenyum kecil, dan suasana di meja makan-pun seolah menjelma begitu canggung.
“jadi penulis tuh masa depannya belum tentu, iya kalo buku-buku nya laku, kalo enggak?!” ujar ayah menyindir ku.
“tapi yah.. Raras kan pengen jadi hebat Bahasa Asing juga iya kan Ras?” bela bunda dengan tatap yang begitu khawatir ke arah ku. Aku mengangguk.
“jadi hebat bahasa? Mau jadi apa? Guide? Hah! Kaya ga ada kerjaan lain aja!” ucap ayah tajam buat mata ku kian memanas.
“aku beres makannya. Duluan semua..” pamit ku seraya beranjak dari meja.
“Raras!” panggil ayah hentikan langkahku.
“ayah cuma ingin masa depan kau cerah! Ayah tau kau berbakat jadi dokter ibarat ayah!” ucap ayah lagi entah tuk keberapa ratus kalinya.
Aku tau, kalau saya ingin saya bisa saja menjadi ibarat apa yang ayah mau. IPA ku tak begitu buruk, Dua kali saya pernah mengikuti olimpiade Biologi dan saya selalu memenangkannya.
“tapi itu bukan Dunia ku yah…” saya berlalu menuju kamar.
Diam-diam airmata mengalir dengan derasnya. Sakit!. Aku tak pernah habis fikir mengapa ayah selalu menganggap rendah harapan ku. Padahal saya yakin! Sangan yakin kelak saya sanggup sukses dengan gelar Master Bahasa Asing-ku juga dengan semua karya tulis ku!. Aku yakin, saya bias menjadi sosok yang ayah banggakan! Aku yakin……… tapi kenapa yah?
“teh? Bunda masuk ia?” ujar bunda seraya mengetuk pintu kamar ku. Tak usang dia masuk dan dapati ku tengah terisak di kasur.
“maafin ayah ya..” ujar bunda lagi entah tuk keberapa ratus kalinya setiap insiden serupa terulang. Aku diam.
“ayah ga maksud nyudutin teteh ko, ayah Cuma pengen semua anaknya sukses kelak..” bunda membelai lembut rambutku menciptakan isak ku semakin menjadi.
“bunda ga ngrasain sih! Sakit rasanya bunda! Sakit!” ucap ku bergetar, bunda hanya termangu.
saya tau bunda pun galau harus berbuat apa, disisi lain ia mendukung harapan ku namun disisi lain pula ia tak bisa meyakinkan ayah, ayah begitu keras dengan setiap hal yang menjadi keinginannya.
“maafin bunda ya teh..” ujar bunda dalam hati kala melihat ku mulai terlelap, lelah dengan tangis ku.
********************
“Raras!” panggil yumna seraya berlari ke arah ku.
“hey!” sahut ku sesampainya ia di hadapku yang eksklusif duduk disamping ku.
“semalem habis nangis lagi ia?” saya menggeleng sembari tesenyum.
“bengkak gitu juga matanya! Ayah kau lagi?” Tanyanya hati-hati, saya hanya tersenyum kecil dengan mata yang berusaha fokus pada buku di tanganku.
Yumna. Dia teman ku semenjak kecil. Dari mula sekolah dasar hingga kini Alliyah kami selalu bersama. Dia yakni pendengar yang baik dan juga seorang penasihat yang bisa buat ku selalu tersnyum.
“ga ko, bukan ayah…” elak ku, walau bagaimana pun ayah yakni ayah ku yang nama baiknya harus selalu ku jaga dalam keadaan apapun.
“ga usah bohong deh! Kita tumbuh bersama, jadi kau ga bisa bohong sama aku..” yumna mengambil alih buku ku. “ayah kau nyindir lagi?” dan kesannya saya mengangguk.
“terus?”
“ia kaya biasa aja..”
“kenapa sih kau ga nyoba tunjukin cerpen-cerpen kamu?” ungkapnya seraya membolak-balik buku catatan sejarah ku yang usai bel istirahat ini akan di ujiankan.
“buat apa yum, di sentuh juga ga akan kali…” ucap ku getir
“tapi kan kau belum nyoba? Atau mau sama saya di kasihinnya?” tawarnya.
“ga usah makasih, tanpa di coba juga niscaya kaya gitu ko…” saya mencoba tersenyum ceria padanya, namun tetap saja tak bisa ku sembunyikan pancaran luka dari mata ku tang tengah infeksi kini.
“terus kabar dari penerbit udah ada?” saya menggeleng.
“aku yakin naskah kau niscaya di terima!” hibur yumna
“nanti kalo udah terbit, kau wajib ngasih liat ayah kamu! Biar dia tau gimana hebatnya anak perempuannya!” ucap yumna lagi, saya tersenyum diiringi aminn dalam hati.
**************************
Senja kali ini ibarat biasa ku habiskan dengan membaca majalah National Geografi yang kali ini memuat sejarah wacana Suku Aztec kuno. Aku sangat suka membaca, terutama buku sejarah kuno. Karna bagi ku ketika membaca saya sanggup sejenak melupakan kenyataan yang membelenggu ku dan bagi ku masa kemudian itu selalu lebih indah dari kini maka dari itu saya begitu menyukai sejarah.
ibarat dalam hidup ku, masa kemudian itu tampak begitu indah, indah kala ayah masih memanjakanku, masih selalu memujiku, menggendong ku dan hanya ciptakan tawa canda di setiap jengkalnya. Tak ibarat sekarang. Ah! Andai saya punya kendali atas waktu, saya ingin selalu sanggup kembali ke masa indah itu setiap kali kenyataan lukai batin ku. Ayah.. saya rindu masa-masa itu.
tanpa ku sadari airmata terjatuh ciptakan aliran sungai kecil di pipi. Aku masih ingat bagaimana lembutnya ayah membelai ku kala airmata ku terjatuh—dulu. Ayah….
GRRRRR..GRRRRRR
handphone di saku rok ku bergetar. Segera ku rogoh benda kecil itu dengan tangan kiri yang sibuk meyeka airmata.
yumna calling
“assallamualaikum, ada apa yum?”
“cepet buka e-mail kau sekarang!”perintahnya dari sebrang sana
“kenapa emang?” akku tak mengerti seraya berjalan meraih notebook putih dari atas meja belajar.
“pokonya cepet buka!” dengan segera ku log-in akun g-mail seraya memasang earphone pada handphone ku.
“tadi saya iseng buka website publishing house yang kau kirim naskah itu loh, terus saya lait cover novel yang katanya bakal segera terbit, judulnya ‘pelangi untuk ayah’, itu judul naskah kau kan??” ucapnya bersemangat.
“serius kau yum?! Loading nih jaringannya…” sahut ku dengan rasa antusias bercampur bahagia dalam hati.
“serius lah….. udah ke buka belom?” sempurna ketika itu akun g-mail ku terbuka dan ku dapti empat surrel gres disana. Ku klik satu surrel dengan nama penerbit yang tiga bulan kemudian ku kirim naskah.
“Raras? Apa katanya?” Tanya yumna di sebrang sana. Aku terdiam, berharap apa yang ku baca ini salah
*********************
“aku ngambil jurusan IPA, sesuai apa yang ayah mau..” sahut ku kala ayah bertanyan mengenai jurusan apa yang akan ku ambil di kelas dua nanti. Ayah tersenyum cerah dan membiarkan ku berlalu usai ia puji berkali-kali. Namun tetap saja hati ku terasa begitu pedih. Seminggu kemudian ku dapati naskah ku kembali lewat pos tak usang usai pemberitahuan dari penerbit bahwa naskah ku masih belum layak tuk di muat, dan yang sangat menciptakan ku sakit tittle ku sama dengan penulis lain yang kini naskah nya telah berwujud novel.
“aku masuk ipa, saya bakal berhenti nulis yum…” ujar sepulang sekolah
“jadi kau nyerah gitu?! Kamu bakal ninggalin semua ini gitu aja?!” respon yumna kala tau saya menentukan jurusan ipa dan akan mulai berhenti menulis semoga fokus pada sasaran ku tuk ikuti ke inginan ayah—menjadi dokter.
“kamu gres sekali ini gagal Ras! Aku yakin ko kau niscaya bisa! Ayo dong! Kemana Raras yang selalu optimis yang saya kenal selama ini?! Kemana?!” saya hanya sanggup menetap nanar wajah yumna yang kian memerah, geram dengan keputusan yang ku ambil.
“kamu sendiri kan yang bilang ga akan pernah ada orang sukses tanpa mengalami kegagalan terlebih dahulu, iya kan?! Ras….. jangan sia-sia in talenta yang kau punya. Jangan nyiksa diri kau dengan hal yang ga sukai..” saya masih saja terdiam. Dengan susah payah ku tahan airmata semoga tak terjatuh ketika itu, saya ingin terlihat yakin dengan keputusan ku di depan yumna—berpura-pura yakin tepatnya.
“ini pilihan saya yum…maaf ia, saya dah kecewain kamu” dengan setengah berlari ku tinggalkan yumna yang terpaku dengan apa yang ku ucap.
Hari ku terasa hampa kini, gres saja ku simpan setumpuk majalah dan buku yang mulai kini ku tekadkan takan ku baca lagi. Dengan malas ku tata buku-buku gres ke dalam rak yang gres saja ayah berikan padaku.
“baca semua buku ini ok!!” ucap ayah seraya membelai ku lembut. Jujur saya bahagia dengan perlakuan ayah kini, tapi disisi lain ada luka yang tiap menitnya semakin menjadi. Aku masih belum bisa pungkiri keinginan hati ku.
ku helay nafas beberapa kali, berharap setiap hembusnya sanggup ringankan ku.
“hei calon Dokter..” sapa bunda kala melihat ku tengah serius dengan beberapa buku wacana anatomi tubuh. Aku tersenyum.
“senyumnya ga nrimo gitu, teteh yakin kan dengan pilihan ini?” saya mengangguk pelan
“tapi kenapa bunda ngerasa teteh kaya yang setengah hati gitu ya?”
“perasaan bunda aja kali..” sahut ku berusaha tersenyum setulus yang saya bisa. Namun gagal. Bunda selalu tau bagaimana perasaanku sekalipun saya tak bercerita padanya.
“teh..kalo semisalkan ga berpengaruh ga usah maksain ya? Bunda selalu dukung apa pun yang teteh lakuin” bunda tersenyum seraya memeluk ku, ku balas pelukkannya dengan sangat bersahabat dengan hati yang tengah ku benah seyakin mungkin dengan jalan yang ku pilih sekarang.
“doain teteh ia bun…” ucap ku lirih, bunda mengangguk “selalu..” sahutnya.
*************************
“wesss calon bu Dokter mah nilai IPA-nya keren semua…” puji beberapa teman kala melihat raport ku. Aku tersenyum hambar. Ku pincingkan mata ke arah Yumna yang sepertinya masih kesal dengan keputusan ku. Ku berani kan diri menghampirinya yang tengah asyik—berpura-pura asyik mungkin dengan beberapa anak yang lain di sudut kelas.
“yum…” sapa ku dengan bunyi yang nyaris terdengar ibarat bisikan. Yumna menatap ku dengan tatapan yang sulit ku jabarkan. “ada apa?” sahutnya ketus
“mulai taun anutan gres saya bakal pindah…”
mata yumna membelak “ke-kenapa?” saya tersenyum, ternyata dia masih peduli padaku.
“ayah nemuin sekolah yang IPA nya manis katanya, jadi saya di suruh pindah kesana..”
“selamat ia! Kamu dah jadi robot ayah kamu..” ungkapnya sinis dengan yang memerah
“selamat ia Ras….” Ujarnya lagi dengan airmata disisi. Ku peluk bersahabat teman ku itu.
“aku ga pinda rumah ko, kita masih bisa main bareng..” ucap ku pelan
“iya..” sahut yumna dengan isak yang menciptakan seisi kelas menatap heran kea rah kami.
“aku pulang!” ujar ku sesampainya di rumah bersama yumna
“wa’alaikumsallam, gimana raportnya teh?” Tanya bunda
“alhmdulillah bun walau ga masuk tiga besar, nih…” bunda meraih raport dari tangan ku kemudian menyuruh ku mengambilkan minum untuk yumna.
“bagus-bagus ko nilainya teh” puji bunda. Aku tersenyum.
“ia dong tante, jam istirahat aja di pake buat belajar..” sahut yumna
“ayah mana bun?” Tanya ku
“di belakang kali, kesana gih…” segera ku langkahkan kaki menuju taman belakang rumah yang kecil namun tampak asri yang menjadi kawasan bunda curahkan kecintaanya pada tanaman.
“yah…. Nih liat raport—Ra-ras. . . .” ucap ku terhenti kala melihat ayah tengah menggenggam naskah ku.
“ko kau buang naskah ini sih?” Tanya nya dengan mata yang terlihat lembap
“a-aku. .” ujar ku tergagap. Dengan bayangan hari kemarin dimana ayah kembali hambar padaku.
“naskah manis gini tuh harus nya di terbitin!” ungkapnya parau, betapa kagetnya aku.
“apa yah? Nas-naskah ku bagus?” ayah mengangguk kemudian meraih ku ke dalam peluknya.
“maafin ayah yah, ayah ga pernah yakin dengan talenta kau selama ini, maaf ya teh..” uajr ayah begitu lembut hingga bisa getarkan hati ku.
“mulai kini teteh bebas tentuin harapan teteh sendiri, ayah ga akan ngatur lagi..” perlahan ayah lepaskan pelukannya dan ku dapati senyuman yang begitu ku rindukan selama ini.
“ayah ga nyangka, sebegitu mulianya harapan anak ayah ini, ayah ga nyangka ketertarikan teteh pada bahasa di dasari dengan keinginan siarkan islam ke penjuru dunia, dan goresan pena teteh yakni awal dari harapan itu… ayah besar hati jadi ayah teteh” saya tersenyum seraya sesekali menyeka airmata.
ku lihat bunda dan yumna tersenyum ke arah ku. Dan ketika itu lah ku yakini seribu kali-lipat harapan ku yang sempat ku tinggalkan kemarin. Aku percaya dan akan selalu percaya dengan apa yang ku pilih sekarang. Aku berjaji takkan ada seorang pun yang sanggup patahkan harapan ku.
DREAM, DARE, DO!!
By: Santriwati Pesantren Persis Benda
“assallamualaikum..” salam ayah lembut seraya memeluk kedua adikku—Rega dan Rani.
“nih ayah belikan donat kesukaan kalian!” ayah tampak mengeluarkan kotak berwarna orange dari dalam tas yang eksklusif disambut gembira oleh kedua adik ku.
“jangan berebut!” pesannya seraya melintas dihadapanku menuju kamar. Aku meringis.
entah mengapa sedari dulu saya selalu merasa di anak tiri-kan oleh ayah. Sikapnya selalu saja hambar tak ibarat pada kak Ryan dan kedua adikku. Dan hal ini lah yang selalu menjadi alasan ku mengapa saya tak betah berada di rumah, semua penghuninya bagaikan orang gila bagi ku-kecuali bunda. Tak jarang saya berfikir apa saya benar-benar anak tiri? Tapi bunda selalu menyanggah hal itu, dia selalu saja bisa menciptakan ku yakin bahwa saya ini benar-benar anaknya, namun semenit kemudian keyakinan itu hilang lagi kala dihadapkan dengan konkret perilaku ayah pada ku.
“teteh! Makan malam dulu..” panggil bunda dari arah ruang makan. Dengan perasaan enggan ku langkahkan kaki menuju dingklik ku yang letaknya sempurna di samping depan ayah.
“lesu banget sih teh? Sakit?” Tanya bunda, saya menggelang seraya berusaha sungingkan senyum.
“makan yang banyak ia..” ujar bunda lagi seraya menaruh lauk pauk di piringku.
“yah.. lusa insayaAllah Ryan ikut olimpiade kimia lagi loh..” ujar kak’Ryan di sela makannya.
“oh ya? Hebat deh anak ayah.. harus menang lagi ya!” puji ayah diiringi lirikan tajam kearah ku. Dan saya akal-akalan tak peduli.
“gimana kemarin? Novel kau jadi diterbitin?” Tanya ayah hambar tanpa menatap ku sama “belum ada konfirmasi yah” sahut ku pelan. Ayah berguma tak terang menanggapinya. Dan lagi perasaan sakit itu muncul jalari tiap inci hatiku, menciptakan nafsu makan ku hilang seketika. Aku tau di antara anggota keluarga hanya saya yang kurang berminat dengan segala hal berbau ipa, padahal jelas-jelas gen di keluarga ku 100% ipa. Tapi saya berbeda! Aku lebih tertarik tuk merangkai kata dan pada segala hal yang berbau kuno. Yah.. walau ipa ku tak begitu buruk, “ayah tau ga?! Cerpen teh Raras ada di majalah loh!” ucap Rega dengan senyum mengembang. Ayah hanya tersenyum kecil, dan suasana di meja makan-pun seolah menjelma begitu canggung.
“jadi penulis tuh masa depannya belum tentu, iya kalo buku-buku nya laku, kalo enggak?!” ujar ayah menyindir ku.
“tapi yah.. Raras kan pengen jadi hebat Bahasa Asing juga iya kan Ras?” bela bunda dengan tatap yang begitu khawatir ke arah ku. Aku mengangguk.
“jadi hebat bahasa? Mau jadi apa? Guide? Hah! Kaya ga ada kerjaan lain aja!” ucap ayah tajam buat mata ku kian memanas.
“aku beres makannya. Duluan semua..” pamit ku seraya beranjak dari meja.
“Raras!” panggil ayah hentikan langkahku.
“ayah cuma ingin masa depan kau cerah! Ayah tau kau berbakat jadi dokter ibarat ayah!” ucap ayah lagi entah tuk keberapa ratus kalinya.
Aku tau, kalau saya ingin saya bisa saja menjadi ibarat apa yang ayah mau. IPA ku tak begitu buruk, Dua kali saya pernah mengikuti olimpiade Biologi dan saya selalu memenangkannya.
“tapi itu bukan Dunia ku yah…” saya berlalu menuju kamar.
Diam-diam airmata mengalir dengan derasnya. Sakit!. Aku tak pernah habis fikir mengapa ayah selalu menganggap rendah harapan ku. Padahal saya yakin! Sangan yakin kelak saya sanggup sukses dengan gelar Master Bahasa Asing-ku juga dengan semua karya tulis ku!. Aku yakin, saya bias menjadi sosok yang ayah banggakan! Aku yakin……… tapi kenapa yah?
“teh? Bunda masuk ia?” ujar bunda seraya mengetuk pintu kamar ku. Tak usang dia masuk dan dapati ku tengah terisak di kasur.
“maafin ayah ya..” ujar bunda lagi entah tuk keberapa ratus kalinya setiap insiden serupa terulang. Aku diam.
“ayah ga maksud nyudutin teteh ko, ayah Cuma pengen semua anaknya sukses kelak..” bunda membelai lembut rambutku menciptakan isak ku semakin menjadi.
“bunda ga ngrasain sih! Sakit rasanya bunda! Sakit!” ucap ku bergetar, bunda hanya termangu.
saya tau bunda pun galau harus berbuat apa, disisi lain ia mendukung harapan ku namun disisi lain pula ia tak bisa meyakinkan ayah, ayah begitu keras dengan setiap hal yang menjadi keinginannya.
“maafin bunda ya teh..” ujar bunda dalam hati kala melihat ku mulai terlelap, lelah dengan tangis ku.
********************
“Raras!” panggil yumna seraya berlari ke arah ku.
“hey!” sahut ku sesampainya ia di hadapku yang eksklusif duduk disamping ku.
“semalem habis nangis lagi ia?” saya menggeleng sembari tesenyum.
“bengkak gitu juga matanya! Ayah kau lagi?” Tanyanya hati-hati, saya hanya tersenyum kecil dengan mata yang berusaha fokus pada buku di tanganku.
Yumna. Dia teman ku semenjak kecil. Dari mula sekolah dasar hingga kini Alliyah kami selalu bersama. Dia yakni pendengar yang baik dan juga seorang penasihat yang bisa buat ku selalu tersnyum.
“ga ko, bukan ayah…” elak ku, walau bagaimana pun ayah yakni ayah ku yang nama baiknya harus selalu ku jaga dalam keadaan apapun.
“ga usah bohong deh! Kita tumbuh bersama, jadi kau ga bisa bohong sama aku..” yumna mengambil alih buku ku. “ayah kau nyindir lagi?” dan kesannya saya mengangguk.
“terus?”
“ia kaya biasa aja..”
“kenapa sih kau ga nyoba tunjukin cerpen-cerpen kamu?” ungkapnya seraya membolak-balik buku catatan sejarah ku yang usai bel istirahat ini akan di ujiankan.
“buat apa yum, di sentuh juga ga akan kali…” ucap ku getir
“tapi kan kau belum nyoba? Atau mau sama saya di kasihinnya?” tawarnya.
“ga usah makasih, tanpa di coba juga niscaya kaya gitu ko…” saya mencoba tersenyum ceria padanya, namun tetap saja tak bisa ku sembunyikan pancaran luka dari mata ku tang tengah infeksi kini.
“terus kabar dari penerbit udah ada?” saya menggeleng.
“aku yakin naskah kau niscaya di terima!” hibur yumna
“nanti kalo udah terbit, kau wajib ngasih liat ayah kamu! Biar dia tau gimana hebatnya anak perempuannya!” ucap yumna lagi, saya tersenyum diiringi aminn dalam hati.
**************************
Senja kali ini ibarat biasa ku habiskan dengan membaca majalah National Geografi yang kali ini memuat sejarah wacana Suku Aztec kuno. Aku sangat suka membaca, terutama buku sejarah kuno. Karna bagi ku ketika membaca saya sanggup sejenak melupakan kenyataan yang membelenggu ku dan bagi ku masa kemudian itu selalu lebih indah dari kini maka dari itu saya begitu menyukai sejarah.
ibarat dalam hidup ku, masa kemudian itu tampak begitu indah, indah kala ayah masih memanjakanku, masih selalu memujiku, menggendong ku dan hanya ciptakan tawa canda di setiap jengkalnya. Tak ibarat sekarang. Ah! Andai saya punya kendali atas waktu, saya ingin selalu sanggup kembali ke masa indah itu setiap kali kenyataan lukai batin ku. Ayah.. saya rindu masa-masa itu.
tanpa ku sadari airmata terjatuh ciptakan aliran sungai kecil di pipi. Aku masih ingat bagaimana lembutnya ayah membelai ku kala airmata ku terjatuh—dulu. Ayah….
GRRRRR..GRRRRRR
handphone di saku rok ku bergetar. Segera ku rogoh benda kecil itu dengan tangan kiri yang sibuk meyeka airmata.
yumna calling
“assallamualaikum, ada apa yum?”
“cepet buka e-mail kau sekarang!”perintahnya dari sebrang sana
“kenapa emang?” akku tak mengerti seraya berjalan meraih notebook putih dari atas meja belajar.
“pokonya cepet buka!” dengan segera ku log-in akun g-mail seraya memasang earphone pada handphone ku.
“tadi saya iseng buka website publishing house yang kau kirim naskah itu loh, terus saya lait cover novel yang katanya bakal segera terbit, judulnya ‘pelangi untuk ayah’, itu judul naskah kau kan??” ucapnya bersemangat.
“serius kau yum?! Loading nih jaringannya…” sahut ku dengan rasa antusias bercampur bahagia dalam hati.
“serius lah….. udah ke buka belom?” sempurna ketika itu akun g-mail ku terbuka dan ku dapti empat surrel gres disana. Ku klik satu surrel dengan nama penerbit yang tiga bulan kemudian ku kirim naskah.
“Raras? Apa katanya?” Tanya yumna di sebrang sana. Aku terdiam, berharap apa yang ku baca ini salah
*********************
“aku ngambil jurusan IPA, sesuai apa yang ayah mau..” sahut ku kala ayah bertanyan mengenai jurusan apa yang akan ku ambil di kelas dua nanti. Ayah tersenyum cerah dan membiarkan ku berlalu usai ia puji berkali-kali. Namun tetap saja hati ku terasa begitu pedih. Seminggu kemudian ku dapati naskah ku kembali lewat pos tak usang usai pemberitahuan dari penerbit bahwa naskah ku masih belum layak tuk di muat, dan yang sangat menciptakan ku sakit tittle ku sama dengan penulis lain yang kini naskah nya telah berwujud novel.
“aku masuk ipa, saya bakal berhenti nulis yum…” ujar sepulang sekolah
“jadi kau nyerah gitu?! Kamu bakal ninggalin semua ini gitu aja?!” respon yumna kala tau saya menentukan jurusan ipa dan akan mulai berhenti menulis semoga fokus pada sasaran ku tuk ikuti ke inginan ayah—menjadi dokter.
“kamu gres sekali ini gagal Ras! Aku yakin ko kau niscaya bisa! Ayo dong! Kemana Raras yang selalu optimis yang saya kenal selama ini?! Kemana?!” saya hanya sanggup menetap nanar wajah yumna yang kian memerah, geram dengan keputusan yang ku ambil.
“kamu sendiri kan yang bilang ga akan pernah ada orang sukses tanpa mengalami kegagalan terlebih dahulu, iya kan?! Ras….. jangan sia-sia in talenta yang kau punya. Jangan nyiksa diri kau dengan hal yang ga sukai..” saya masih saja terdiam. Dengan susah payah ku tahan airmata semoga tak terjatuh ketika itu, saya ingin terlihat yakin dengan keputusan ku di depan yumna—berpura-pura yakin tepatnya.
“ini pilihan saya yum…maaf ia, saya dah kecewain kamu” dengan setengah berlari ku tinggalkan yumna yang terpaku dengan apa yang ku ucap.
Hari ku terasa hampa kini, gres saja ku simpan setumpuk majalah dan buku yang mulai kini ku tekadkan takan ku baca lagi. Dengan malas ku tata buku-buku gres ke dalam rak yang gres saja ayah berikan padaku.
“baca semua buku ini ok!!” ucap ayah seraya membelai ku lembut. Jujur saya bahagia dengan perlakuan ayah kini, tapi disisi lain ada luka yang tiap menitnya semakin menjadi. Aku masih belum bisa pungkiri keinginan hati ku.
ku helay nafas beberapa kali, berharap setiap hembusnya sanggup ringankan ku.
“hei calon Dokter..” sapa bunda kala melihat ku tengah serius dengan beberapa buku wacana anatomi tubuh. Aku tersenyum.
“senyumnya ga nrimo gitu, teteh yakin kan dengan pilihan ini?” saya mengangguk pelan
“tapi kenapa bunda ngerasa teteh kaya yang setengah hati gitu ya?”
“perasaan bunda aja kali..” sahut ku berusaha tersenyum setulus yang saya bisa. Namun gagal. Bunda selalu tau bagaimana perasaanku sekalipun saya tak bercerita padanya.
“teh..kalo semisalkan ga berpengaruh ga usah maksain ya? Bunda selalu dukung apa pun yang teteh lakuin” bunda tersenyum seraya memeluk ku, ku balas pelukkannya dengan sangat bersahabat dengan hati yang tengah ku benah seyakin mungkin dengan jalan yang ku pilih sekarang.
“doain teteh ia bun…” ucap ku lirih, bunda mengangguk “selalu..” sahutnya.
*************************
“wesss calon bu Dokter mah nilai IPA-nya keren semua…” puji beberapa teman kala melihat raport ku. Aku tersenyum hambar. Ku pincingkan mata ke arah Yumna yang sepertinya masih kesal dengan keputusan ku. Ku berani kan diri menghampirinya yang tengah asyik—berpura-pura asyik mungkin dengan beberapa anak yang lain di sudut kelas.
“yum…” sapa ku dengan bunyi yang nyaris terdengar ibarat bisikan. Yumna menatap ku dengan tatapan yang sulit ku jabarkan. “ada apa?” sahutnya ketus
“mulai taun anutan gres saya bakal pindah…”
mata yumna membelak “ke-kenapa?” saya tersenyum, ternyata dia masih peduli padaku.
“ayah nemuin sekolah yang IPA nya manis katanya, jadi saya di suruh pindah kesana..”
“selamat ia! Kamu dah jadi robot ayah kamu..” ungkapnya sinis dengan yang memerah
“selamat ia Ras….” Ujarnya lagi dengan airmata disisi. Ku peluk bersahabat teman ku itu.
“aku ga pinda rumah ko, kita masih bisa main bareng..” ucap ku pelan
“iya..” sahut yumna dengan isak yang menciptakan seisi kelas menatap heran kea rah kami.
“aku pulang!” ujar ku sesampainya di rumah bersama yumna
“wa’alaikumsallam, gimana raportnya teh?” Tanya bunda
“alhmdulillah bun walau ga masuk tiga besar, nih…” bunda meraih raport dari tangan ku kemudian menyuruh ku mengambilkan minum untuk yumna.
“bagus-bagus ko nilainya teh” puji bunda. Aku tersenyum.
“ia dong tante, jam istirahat aja di pake buat belajar..” sahut yumna
“ayah mana bun?” Tanya ku
“di belakang kali, kesana gih…” segera ku langkahkan kaki menuju taman belakang rumah yang kecil namun tampak asri yang menjadi kawasan bunda curahkan kecintaanya pada tanaman.
“yah…. Nih liat raport—Ra-ras. . . .” ucap ku terhenti kala melihat ayah tengah menggenggam naskah ku.
“ko kau buang naskah ini sih?” Tanya nya dengan mata yang terlihat lembap
“a-aku. .” ujar ku tergagap. Dengan bayangan hari kemarin dimana ayah kembali hambar padaku.
“naskah manis gini tuh harus nya di terbitin!” ungkapnya parau, betapa kagetnya aku.
“apa yah? Nas-naskah ku bagus?” ayah mengangguk kemudian meraih ku ke dalam peluknya.
“maafin ayah yah, ayah ga pernah yakin dengan talenta kau selama ini, maaf ya teh..” uajr ayah begitu lembut hingga bisa getarkan hati ku.
“mulai kini teteh bebas tentuin harapan teteh sendiri, ayah ga akan ngatur lagi..” perlahan ayah lepaskan pelukannya dan ku dapati senyuman yang begitu ku rindukan selama ini.
“ayah ga nyangka, sebegitu mulianya harapan anak ayah ini, ayah ga nyangka ketertarikan teteh pada bahasa di dasari dengan keinginan siarkan islam ke penjuru dunia, dan goresan pena teteh yakni awal dari harapan itu… ayah besar hati jadi ayah teteh” saya tersenyum seraya sesekali menyeka airmata.
ku lihat bunda dan yumna tersenyum ke arah ku. Dan ketika itu lah ku yakini seribu kali-lipat harapan ku yang sempat ku tinggalkan kemarin. Aku percaya dan akan selalu percaya dengan apa yang ku pilih sekarang. Aku berjaji takkan ada seorang pun yang sanggup patahkan harapan ku.
DREAM, DARE, DO!!
By: Santriwati Pesantren Persis Benda