Problematika Sertifikasi Dan Kualitas Guru Di Indonesia


Judul : Problematika Sertifikasi Dan Kualitas Guru Di Indonesia
link : Problematika Sertifikasi Dan Kualitas Guru Di Indonesia


Problematika Sertifikasi Dan Kualitas Guru Di Indonesia

Dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran dan pendidikan di Indonesia, Pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan Nasional telah meluncurkan banyak sekali kebijakan, salah satunya dengan diterapkannya kebijakan sertifikasi guru dalam jabatan.
Sampai ketika ini sambutan para guru terhadap kebijakan pemerintah ini memang luar biasa, para guru sangat antusias untuk mengikuti kegiatan seleksi ini, bahkan para guru yang diberi kiprah embel-embel sebagai kepala sekolah pun ramai-ramai ikut mendaftarkan diri sebagai calon peserta, terlepas apakah yang bersangkutan masih aktif atau tidak aktif menjalankan profesi keguruannya. Barangkali, motivasi yang sangat berpengaruh untuk ikut serta dalam ajang ini ialah disamping impian memperoleh legitimasi sebagai guru profesional atau guru yang kompeten, tentunya daya tarik dari disediakannya tunjangan profesi dan akomodasi lainnya yang sangat menggiurkan.

Permasalahan problematika sertifikasi dirasakan oleh para guru yang belum mempunyai kualifikasi D4/S1 atau masa pengabdiannya belum 20 tahun, alasannya ialah mereka tidak bisa diikutsertakan, tetapi bagi para guru yang sudah berkualifikasi D4/S1 pun tetap akan menjumpai sejumlah persoalan, terutama kesulitan guna memenuhi empat komponen lainnya, yaitu komponen: (1) pendidikan dan pelatihan, (2) keikutsertaan dalam lembaga ilmiah, (3) prestasi akademik, dan (4) karya pengembangan profesi.
Saat ini, keempat komponen tersebut belum sepenuhnya sanggup diakses dan dikuasai oleh setiap guru, khususnya oleh guru-guru yang berada jauh dari sentra kota. Frekuensi kegiatan training dan pendidikan, lembaga ilmiah, dan momen-momen lomba akademik relatif masih terbatas. Begitu juga budaya menulis, budaya meneliti dan berinovasi belum sepenuhnya berkembang di kalangan guru. Semua ini tentu akan mengakibatkan kesulitan tersendiri bagi para guru untuk meraih poin dari komponen-komponen tersebut.Oleh alasannya ialah itu, kalau ke depannya kegiatan sertifikasi guru masih memakai teladan yang sama, yaitu dalam bentuk evaluasi portofolio dengan meliputi 10 (sepuluh komponen) menyerupai di atas, maka perlu dipikirkan upaya-upaya supaya setiap guru sanggup memperoleh kesempatan yang lebih luas untuk meraih poin dari komponen-komponen tersebut, diantaranya melalui beberapa upaya berikut ini:
  1. Meningkatkan kuantitas dan kualitas kegiatan pendidikan dan pelatihan, serta lembaga ilmiah di setiap tempat dan para guru perlu terus-menerus dimotivasi dan difasilitasi untuk sanggup berpartisipasi di dalamnya. Memang idealnya, kegiatan pendidikan dan training atau mengikuti lembaga ilmiah sudah harus merupakan kebutuhan yang menempel pada diri individu guru itu sendiri, sehingga guru pun sudah sewajarnya ada kerelaan berkorban, baik berupa materi, tenaga dan fikiran guna dan mengikuti kegiatan pendidikan dan training maupun lembaga ilmiah. Tetapi harus diingat pula bahwa kegiatan pendidikan, training dan lembaga ilmiah tidak hanya untuk kepentingan individu guru yang bersangkutan semata, tetapi organisasi pun (baca: sekolah atau dinas pendidikan) didalamnya mempunyai kepentingan. Oleh alasannya ialah itu sudah sewajarnya kalau sekolah atau dinas pendidikan berusaha seoptimal mungkin untuk memfasilitasi kegiatan pendidikan dan training atau lembaga ilmiah bagi para guru.
  2. Meningkatkan frekuensi moment lomba-lomba, baik untuk kalangan guru maupun siswa (guru akan diperhitungan dalam kiprahnya sebagai pembimbing) di daerah-daerah, secara berjenjang mulai dari tingkat sekolah, kecamatan hingga dengan tingkat kabupaten dan bahkan bila memungkinkan bisa diikutsertakan pada tingkat yang lebih tinggi. Lomba bagi guru tidak hanya diartikan dalam bentuk pemilihan guru berprestasi yang sudah biasa dilaksanakan setiap tahunnya, tetapi juga bentuk-bentuk perlombaan lainnya yang mencerminkan kemampuan akademik, pedagogik dan sosio-personal guru. Kegiatan lomba bagi guru dan siswa pada tingkat sekolah bahwasanya jauh lebih penting, alasannya ialah melalui ajang lomba pada tingkat sekolah inilah sanggup dihasilkan guru-guru dan siswa terpilih, yang selanjutnya sanggup diikutsertakan berkompetisi pada ajang lomba tingkat berikutnya. Agar kegiatan lomba pada tingkat sekolah memperoleh respons positif, khususnya dari para guru, sudah barang tentu sekolah harus bisa menawarkan apresiasi yang seimbang dan menarik.
  3. Menumbuhkan budaya menulis, kiranya perlu dipikirkan supaya di setiap sekolah diterbitkan bulletin, majalah sekolah atau media lainnya (publikasi melalui internet atau majalah dinding, misalnya), yang beberapa materinya berasal dari para guru secara bergiliran. Dalam hal ini, untuk sementara bisa saja mengabaikan dulu apakah berbobot atau tidaknya karya goresan pena mereka, yang diutamakan di sini ialah kemauan mereka untuk memulai menulis. Apabila memang ditemukan karya guru yang dipandang manis dan berbobot, tidak ada salahnya untuk mencoba dikirimkan ke majalah atau koran-koran tertentu yang memungkinkan bisa dipertimbangkan untuk kepentingan evaluasi sertifikasi.
  4. Menanamkan budaya meneliti di kalangan guru, sekolah-sekolah sanggup memfasilitasi dan menawarkan motivasi kepada guru untuk melakukan kegiatan Penelitian Tindakan Kelas, bisa saja dalam bentuk lomba Penelitian Tindakan Kelas atau bahkan bila perlu dengan cara mewajibkan para guru untuk melakukan Penelitian Tindakan Kelas, minimal dalam satu tahun satu kali. Di samping untuk kepentingan evaluasi sertifikasi, kegiatan Penelitian Tindakan Kelas terutama sanggup dimanfaatkan untuk kepentingan perbaikan mutu proses pembelajaran guru yang bersangkutan, sehingga guru tidak terjebak dan berkutat dalam proses pembelajaran yang sama sekali tidak efektif. Tentunya, dalam hal ini setiap hasil karya dari setiap guru perlu diapresiasi secara seimbang pula, baik dalam bentuk bahan maupun non materi.
Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan, lembaga ilmiah dan aneka lomba akademik bagi guru, sudah pasti harus menjadi tanggung jawab pemerintah, khususnya pemerintah tempat melalui sekolah atau Dinas Pendidikan setempat. Akan tetapi, organisasi profesi, perguruan tinggi dan masyarakat setempat pun seyogyanya sanggup turut ambil bab untuk menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan-kegiatan tersebut, sebagai wujud faktual dari tanggung jawab dan kepeduliannya terhadap pendidikan.
Dengan semakin terbukanya peluang-peluang untuk mengikuti banyak sekali kegiatan di atas, maka kesempatan guru untuk memperoleh poin evaluasi dalam rangka mengikuti aktivitas sertifikasi pun semakin terbuka lebar. Bersamaan itu pula, pasti kualitas guru sanggup menjadi lebih baik dalam mengantarkan pendidikan dan sumber daya insan Indonesia menuju ke arah yang lebih berkualitas.
Masih seputar permasalahan sertifikasi guru, khusus untuk para konselor/guru pembimbing tampaknya harus lebih bersabar lagi, alasannya ialah hingga ketika ini tampaknya pemerintah belum sepenuhnya memperlihatkan keberpihakannya pada profesi ini. erbagai ketidakjelasan dalam kebijakan ihwal konseling di sekolah, termasuk dalam hal sertifikasi konselor/guru pembimbing masih tetap dirasakan membingungkan, contohnya dalam menilai perencanaan dan pelaksanaan konseling, ketika ini terpaksa masih memakai instrumen evaluasi perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, yang bahwasanya isi dan indikatornya kurang sesuai dengan karakteristik kiprah dan pekerjaan konseling.
Padahal, kita mencatat ada beberapa nama pakar konseling yang secara pribadi atau tidak pribadi terlibat dalam perumusan kebijakan sertifikasi guru ini, namun tampaknya bunyi mereka masih parau, sehingga tak bisa untuk mengangkat nasib profesinya sendiri. Selain itu, para konselor/guru pembimbing pun sebetulnya sudah mempunyai organisasi tersendiri yang disebut Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), tetapi tampaknya kekuatan organisasi ini pun masih belum mempunyai taring yang tajam untuk memperjuangkan nasib anggota profesi dan eksisitensi profesinya sendiri dalam kebijakan pendidikan nasional kita. Meskipun dalam organisasi profesi ini banyak pakar konseling yang terlibat sebagai pengurus maupun anggota organisasi, tetapi rupanya kepakaran mereka tidaklah cukup untuk meyakinkan pemerintah dalam menciptakan kebijakan pendidikan yang benar-benar mempunyai keberpihakan pada profesi konseling, yang pada balasannya profesi konseling tetap saja dalam posisi yang termarjinalkan. Memang sungguh sangat tragis dan menyakitkan, dan itulah salah satu lagi bukti dari “keajaiban” kebijakan pendidikan kita !