Judul : Muhasabah Mawas Diri; Kunci Menata Langsung Bahagia
link : Muhasabah Mawas Diri; Kunci Menata Langsung Bahagia
Muhasabah Mawas Diri; Kunci Menata Langsung Bahagia
Rasulullah Saw menasihati orang mu'min dalam salah satu khutbahnya, bahwa untuk menata diri dalam mewujudkan keshalihan individual dan sosial, modalnya yakni muhasabah, mawas diri atau instrospeksi. Karena dengan muhasabah secara jujur dan benar, seseorang akan mengetahui apa yang menjadi kelebihan dirinya, sehingga sanggup dipertahankan dan akan mengetahui kekurangan dirinya, sehingga perlu segera diadakan perbaikan. Dengan muhasabah seseorang akan mengetahui tingkat dedikasi terhadap Khaliqnya, dan mengetahui kelemahan doktrin yang ada pada dirinya.Namun kesulitan yang sering terjadi dalam mawas diri yakni ketidakjujuran, dan ketidakmampuan dalam meneliti kekurangan atau keaiban diri. Sehingga enggan untuk mengakui kesalahan, kekurangan dan atau keaiban yang ada pada dirinya. Seringkali orang mati-matian membela diri dalam kesalahan yang nyata-nyata diperbuat olehnya. Ia memaafkan sendiri atas kesalahannya, lalu menganggapnya bukan sesuatu yang 'aib untuk dilakukan. Akhirnya ia akan mengulangi melaksanakan kesalahan tersebut dan larut terus menerus dalam noda dan dosa tanpa rasa malu atau takut sedikitpun.
Dalam muhasabah atau mawas diri, sering pula orang keliru dalam menyikapi atau menganggapi fenomena yang timbul di luar dirinya. Karena fenomena yang timbul di luar dirinya itu, seharusnya jadi materi pelajaran atau ibrah bagi dirinya dalam rangka muhasabah. Tetapi ternyata tidak sanggup dilakukan atau keliru dalam memahaminya. Sebagai contoh, kalau terjadi proses kematian terhadap seseorang, ada kalanya orang yang melihat kematian itu menganggap bahwa yang mati itu hanyalah orang itu sedangkan ia menganggap seolah dirinya tidak akan kena oleh ajal. Padahal Rasulullah Saw menerangkan, cukup dengan melihat kematian orang menjadi nasihat bagi diri. Akhirnya, pada gilirannya ia tidak memiliki perhatian lagi terhadap kematian, dan akhir yang dirasakan ia akan melupakan ibadah dan amal solehnya sebagai bekal untuk kehidupannya kelak sehabis mati.
Oleh alasannya yakni itu dahulu Rasulullah Saw memperingatkan kepada para sahabatnya akan kekeliruan-kekeliruan yang sering terjadi pada insan biar diwaspadai. Dalam kitab manhaj as-Shalihin, 'Izzuddin Baliq mengutip khutbah Rasulullah SAw dari kitab Shubhul-A'sya 1 : 23 antara lain Rasulullah Saw mengungkapkan dalam khutbahnya itu, yang terjemahannya sebagai berikut:
"Wahai manusia, seakan-akan kalau kita melihat orang lain mati, hanya merekalah yang mati, kita tidak. Demikian pula seakan-akan yang harus benar dan harus adil itu hanyalah orang lain saja, sedangkan diri kita dibiarkan dalam kejahatan dan kezaliman. Demikian pula kalau kita melihat orang mati yang diusung di atas keranda mati, seakan-akan dianggapnya suatu bepergian atau tamasya yang sebentar saja, yang karenanya akan kembali kepada kita. Demikian juga ketika di antara keluarga kita ada yang meninggal kita hanya sibuk mengurus kuburannya saja dan berebut harta warisannya. Kita sering melupakan nasihatnya dan merasa tentram dari peringatannya, tidak ada perhatian sama sekali, seakan-akan kita akan kekal awet hidup di dunia ini".Peringatan Rasulullah Saw di atas, memberi arahan kepada kita, khususnya yang beriman biar sanggup muhasabah atau mawas diri secara benar dan jujur. Yaitu bahwa yang mati itu bukan orang lain saja. Tapi pada suatu ketika diri kita pun akan menyerupai itu. Tidak ada yang kekal awet di dunia ini, baik itu umur, hara kekayaan, jabatan, popularitas, dsb. Semua berpulang kepada-Nya. Bila ini disadari dengan cara mawas diri, insya Allah kita bisa mempersiapkan amal ibadah dan amal sholeh untuk menghadapi kematian itu. Dan akan gampang untuk menata kehidupan yang lebih baik.
Selanjutnya, Rasulullah Saw menasihati para sahabatnya biar mendapat kebahagiaan di dunia dan alam abadi sebagai berikut :
"Alangkah bahagianya orang yang menyibukkan diri (untuk muhasabah/ meneliti) keaiban dirinya sendiri dapada sibuk meneliti dan mengawasi keaiban orang lain".Nasihat ini diperuntukkan bagi orang yang suka tajassus; memata-matai dan menghitung-hitung kesalahan dan keaiban orang, untuk disebarluaskan biar orang banyak mengetahuinya. Sedangkan keaiban atau kekurangan diri sendiri tidak pernah diperhatikan. Sehingga beranggapan orang lain saja yang banyak kekurangan dan keaiban itu. Dirinya sendiri berperasaan higienis dari malu dan dosa. Sikap yang demikian tentu merugikan. Di dunia akan dicemoohkan, di alam abadi kelak akan dihinakan. Oleh alasannya yakni itu dahulukan untuk menyibukkan diri dalam muhasabah terhadap keaiban-keaiban yang dilakukan, biar sanggup diperbaiki. Hentikan segala perbuatan-perbuatan yang hanya memfokuskan pada mencari-cari kesalahan orang. Karena hanya akan menemukan kelelahan dan menumbuhkan kebencian orang.
Seseorang aka mendapat laba dunia dan akhirat, kalau ia sanggup bergaul, menentukan teman dan teman dengan orang yang faham dan taat beragama serta berilmu. Karena dengan demikian akan menawarkan dampak yang baik. Antara lain ada orang yang mengingatkan kepada dirinya kalau perilakunya menyimpang dari ketentuan agama. Akan bertambah ilmu dari orang yang pandai dan bijaksana. Serta laba mau hidup bermasyarakat, kenal dengan orang rendah dan miskin yakni sanggup menumbuhkan kehalusan budi, menghindari kerasnya hati, serta tumbuh tenggang rasa terhadap mereka, yang mendorong sifat kedermawanan.
Orang yang ingin mendapat kebaikan atau kebahagiaan dunia dan akhirat, jangan kikir atau bakhil. Jika punya harta yang lebih infaqkanlah atau sedekahkan untuk menolong orang-orang yang sangat membutuhkan. Harta yang dikeluarkan itu tidak seluruhnya, tetapi dari sebahagian rizki yang Allah swt berikan. Allah Swt tidak memerintah kepada hamba-Nya melainkan diadaptasi dengan kemampuan. Sebaliknya, kalau ada kelebihan dari ucapan atau omongan yang sanggup mengakibatkan jatuh pada kedustaan, pada ghibah dan fitnah, caci maki yang melewati batas, maka itu harus ditahan, alias dihentikan, jangan diucapkan.
Demikian uraian di atas cara mawas diri bermuhasabah untuk menata kehidupan kerohanian kita. Dengan tujuan biar tetap lurus, istiqomah dalam aqidah, benar dalam ibadah, dan baik dalam akhlaq sikap dan perbuatan.
Sumber: Majalah Risalah